PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Hadits Nabawi ialah
semua ucapan, perbuatan dan persetujuan Nabi Muhammad Saw[1]
. Ada beberapa fungsi hadits Nabi Muhammad saw. Pertama, sebagai syarah
atau penjelas daripada ayat ayat Alquran yang merupakan sumber syariat pertama,
kedua sebagai sumber syariat kedua dimana hadits menyinggung hal-hal
yang belum disinggung oleh ayat Alquran. Di posisi ini hadits nabi disejajarkan
dengan Alquran dengan sama-sama menjadi rujukan syara’ dalam agama Islam.
Terdapat
persamaan dan perbedaan antara Alquran dan Assunnah dalam sudut pandang ini.
Yaitu sama-sama menjadi duo rujukan utama hukum-hukum syara’, juga sama-sama
terdiri dari ayat/ hadits yang qoth’iy dalalah (artinya penunjukkan atas suatu
makna secara eksplisit tidak ada makna kedua) dan zhonniy dalalah (penunjukkan
atas suatu makna tidak terang masih ada kemungkinan tafsir makna yang berbeda).
Adapun
perbedaannya, Alquran adalah qoth’iy tsubut (ayat-ayatnya dipastikan benar
adalah alquran tidak ada keraguan di dalamnya), dimana barangsiapa yang menolak
ayat-ayat alquran baik secara global dan terperinci maka secara syara’
diputuskan telah keluar dari Islam. Sementara hadits nabawi adakalanya qothiy
tsubut ada kalanya zhonniy tsubut (masih ada kemungkinan walau kecil
bahwa itu tidak benar bersumber dari Nabi Muhamamd Saw). Ini karena hadits nabi
memiliki tingkatan-tingkatan yang berbeda satu sama lain, sehingga penerimaan
terhadap sebuah hadits akan memunculkan perbedaan pendapat diantara kaum muslimin.
Tingkatan-tingkatan / derajat hadits seperti inilah yang akan dibahas dalam
makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
Adapun yang
menjadi sentral pembahasan pada makalah ini adalah:
1.
Bagaimanakah
pembagian hadits nabi dilihat dari kuantitas para perawinya?
2.
Bagaimanakah
pembagian hadits nabi dilihat dari kualitas sanad dan matannya?
3.
Bagaimanakah
pembagian hadits nabi dilihat dari sumber beritanya?
4.
Bagaimanakah
pembagian hadits nabi dilihat dari persambungan sanadnya?
C.
Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan
dari pembahasan dalam makalah ini adalah:
1.
Kita
akan mengetahui istilah-istilah yang dikenal dalam disiplin ilmu studi hadits
nabawi dilihat dari berbagai sudut pandang yang sangat perlu diketahui. Semisal
istilah hadits marfu’, hadits mawquf, hadits maqthu’, hadits qudsiy, hadits
mutawatir, hadits ahad, hadits masyhur, hadits aziz, hadits ghorib, hadits
shahih, hadits hasan, hadits dhoif, hadits muttashil, hadits munqathi’ dan
sebagainya.
PEMBAHASAN
A.
Pembagian Hadits Nabi Dilhat dari Segi Kuantitas Perawi
Dilihat dari
segi kuantitas perawi hadits (orang yang menyampaikan riwayat hadits), maka
hadits bisa dibedakan menjadi tiga macam: Mutawatir dan Ahad. Kata kuantitas perawi di sini
maksudnya dari segi banyaknya jumlah perawi yang meriwayatkan sebuah hadits di
setiap tingkatan generasi (sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in) hingga kepada orang
yang mentakhrij hadits (membukukan dan menghukumkan hadits). Pembagian ini akan
berdampak di akhirnya kepada penerimaan sebuah hadits untuk sah tidaknya
menjadi sebuah hujjah/ dalil agama ataukah tidak. Hadits yang diriwayatkan oleh
jumlah periwayat yang banyak dalam suatu periode/ generasi tentu kualitas
sanadnya lebih kuat jika dibandingkan dengan hadits yang hanya diriwayatkan
oleh satu orang saja di setiap generasinya.
1.
Hadits
Mutawatir
Secara bahasa
arti mutawatir adalah mutatabi’ artinya berturut-turut, beruntun,
susul-menyusul antara satu dengan yang lain. Sementara secara istilah, hadits
mutawatir adalah:
مَا رَوَاهُ جَمْعٌ كَثِيْرٌ
تُحِيْلُ العَادَةُ تَوَاطُؤُهُمْ عَلَى الْكَذِبِ عَنْ مِثْلِهِ اِلَى
مُنْتَهَاهُ
Hadits yang diriwayatkan oleh
sejumlah orang banyak yang menurut kebiasaan dipastikan mustahil bila mereka bersepakata
dalam kebohongan, mulai dari awal sanad hingga akhir sanad..
Para ulama
hadits memberikan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh sebuah hadits agar
bisa terkategori hadits mutawatir. Antara lain:
a.
Jumlah
perawi di setiap tingkatan sanad/ generasi harus mencapai suatu angka tertentu
hingga bisa ditetapkan mustahil sebanyak mereka bersepakat untuk berdusta
mengarang-ngarang hadits. Meskipun kemudian para ulama berbeda-beda dalam
menetapkan angka tersebut. Abu Tayyib menentukan angka empat orang per
tingkatan sanad, para ulama madzhab Syafi’iyah menentukan angka lima orang per
tingkatan sanad, Ibnu Hajar dan Imam Nawawi dari madzhab Syafi’iy menentukan
sekurang-kurangnya angka 10 orang (dan ini yang rajih menurut ulama hadits),
bahkan sebagian ulama yang lain menyebutkan jumlah angkanya menembus 20, 70
bahkan hingga 300 orang per tingkatan sanad[2].
b.
Jumlah
perawi yang banyak di setiap tingkatan sanad ini menurut kebiasaan dan akal
manusia mustahil melakukan kesepatakan untuk berbohong membuat-buat hadits[3].
c.
Kemustahilan
bersepakat untuk mengada-adakan hadits ini terjadi di setiap tingkatan sanad.
Tidak hanya di salah satu tingkatan saja, semisal di tingkatan sahabat saja.
d.
Pemberian
dan penerimaan hadits sandarannya inderawi (berita didengar oleh telinga atau
dilihat oleh mata, atau dirasakan oleh kulit)[4].
Maksudnya redaksinya menggunakan kata-kata seperti “Kami telah mendengar”,
“Kami telah melihat”, atau “kami telah merasakan”[5].
Lantaran
ketatnya syarat hadits mutawatir inilah maka tidaklah aneh bila dikatakan jumlah
hadits mutawatir amatlah sedikit dan langka[6].
Para ulama
hadits juga membagi kembali hadits mutawatir ini kepada tiga:
a.
Mutawatir
Lafzhiy (redaksi matan hadits ketika diriwayatkan tiap tingkatannya benar-benar
mirip antar satu dengan yang lain).
Seperti hadits
Nabi berikut:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم
: مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Barangsiapa
yang sengaja berdusta kepadaku maka hendaklah bersiap-siap ia menempati
tempatnya di neraka.
Disebutkan
bahwa hadits ini telah diriwayatkan oleh 40 orang sahabat dengan susunan
redaksi dan makan yang benar-benar sama dan diriwayatkan oleh hampir semua
imam-imam hadits pemilik kutubus sittah.
b.
Mutawatir
Maknawiy (secara maksud sama, tapi secara lafazh berbeda-beda antara satu
dengan yang lain jalur periwayatan). Seperti hadits berikut:
عن ثابت بن انس قال: رَأَيْتُ
رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَرْفَعُ يَدَيْهِ في الدُّعَاءِ حَتَّى يُرَي
بَيَاضُ اِبْطِهِ
Dari Tsabit bin
Anas ra berkata: Aku telah melihat Rasulullah Saw mengangkat kedua tangannya
dalam doa hingga putih-putih kulit ketiak beilau terlihat.
Hadits ini oleh
para ulama hadits disebutkan telah diriwayatkan sebanyak tiga puluh jalur
periwayatan namun dengan redaksi yang berbeda-beda.
c.
Mutawatir
‘Amaliy (mencontohkan perbuatan Nabi sama persis di setiap generasi). Semisal
tata cara salat Nabi, cara haji dan sebagainya.
Para ulama
sepakat mengatakan bahwa hadits mutawatir ini berada setingkat di bawah Alquran
dari segi kehujjahannya karena ia tergolong dalil yang qoth’iyyuts tsubut
(sudah dipastikan benar diucapkan dan dilakukan oleh Nabi Muhammad tanpa
keraguan sedikit pun). Artinya hadits ini wajib diterima tanpa boleh ditolak. Para
ulama menghukumi orang yang menolak hadits mutawatir sama seperti menolak diri
pribadi Nabi Muhammad Saw yang artinya memiliki konsekuensi telah murtad keluar
dari agama Islam. Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu ilmu dharuriy / yakin
sekali, karena itu harus diterima dengan pasti tanpa perlu meneliti lagi para
perawinya saking banyaknya para perawinya[7].
Bahkan sebagian ulama tidak memasukkan hadits mutawatir ini ke dalam pembahasan
ilmu hadits karena tidak perlu ada pemeriksaaan sifat sifat perawinya; apakah
mereka ‘adil, dhobith atau tidak, bahkan apakah mereka muslim atau tidak, fasik
atau soleh[8].
Di antara
buku-buku hadits yang memuat khusus hadits-hadits yang dengan kualitas
mutawatir adalah: Al-Azhar Al-Mutanatsirah fil Akhbar Al-Mutawatirah karangan
Jalaludin Suyuthi dan Nadzmu Al Mutanatsirah min Al-Hadits Al-Mutawatirah yang
dikarang oleh Ja’far Al-Kinani.
2.
Hadits
Ahad
Menurut bahasa
kata ahad artinya satu. Hadits ahad menurut ulama hadits adalah:
مَا
لَا يَحْتَوِيْ عَلَى شُرُوْطِ التَوَاتُرِ
Hadits
yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk terkategori hadits mutawatir.
Maksudnya tidak lain adalah jumlah
para perawi per tiap tingkatan yang meriwayatkan hadits ahad tidak mencapai
angka yang telah ditetapkan ulama hadits untuk disebut hadits mutawatir
sehingga hal itu tidak sampai meyakinkan bahwa mereka (para perawi) tidak
berbohong mengada-ngada atas diri Rasulullah saw.
Bila hadits
mutawatir para perawinya di tiap tingkatan berjumlah lebih dari sepuluh orang
(ini pendapat yang rajih di antara para ulama hadits), maka hadits ahad ini
jumlah perawinya di bawah itu. Ada yang hanya lima orang, empat orang, dua
orang atau bahkan hanya satu orang per tingkatan sanadnya. Dari sanalah
kemudian para ulama hadits mencoba membagi lagi hadits ahad ini ke beberapa
istilah yang lebih kecil sebagai berikut:
a.
Hadits
masyhur
Ialah hadits yang
jumlah perawinya per tingkatan sanad berjumlah mulai dari tiga orang lebih,
tapi tak sampai jumlah angka yang ditetapkan untuk disebut mutawatir (sepuluh
orang). Istilah hadits masyhur juga bisa digunakan buat hadits yang terkenal (masyhur)
di kalangan tertentu tanpa melihat
kepada jumlah perawinya, semisal hadits masyhur (terkenal) di kalangan ulama
fikih, ulama ushul fikih, ulama hadits, dan sebagainya. Penggunaan istilah
masyhur di sini adalah masyhur ghoiru ishtilahiy (masyhur secara bahasa bukan secara
terma khusus dalam ilmu hadits)[9].
b.
Hadits
Aziz
Ialah hadits
yang jumlah perawinya di salah satu tingkatan sanad hanya berjumlah dua orang,
meskipun di tingkatan lain ada yang berjumlah lebih dari dua; atau dua orang di
semua tingkatan sanad, tapi tidak ada yang kurang dari dua orang[10].
c.
Hadtis
Gharib
Ialah hadits
yang perawinya hanya satu orang pada satu tingkatan sanad. Dan dibedakan
menjadi gharib mutlak (benar-benar hanya satu orang per tingkatan sanad) atau
gharib nisbiy (dalam satu tingkatan hanya satu orang yang bisa dipercaya
periwayatannya meskipun orangnya banyak). Ungkapan lain untuk hadits dengan
cirri seperti ini adalah hadits fard (menyendiri).
Hadits
ahad tidak seperti hadits mutawatir dari segi kekuatan hujjahnya. Hadits ahad
hanya zhanniyut tsubut (masih bisa diragukan bahwa itu memang diucapkan
atau dilakukan oleh Nabi Muhammad), ditentukan oleh mutu sanad dan matan hadits
tersebut adakah ia bernilai shahih (valid), hasan ataukah dhoif (belum tentu
valid). Karena itu orang yang menolak hadits ahad terlebih lantaran lemahnya
tidak berkonsekuensi keluarnya orang tersebut dari Islam seperti layaknya menolak
hadits mutawatir.
B.
Pembagian Hadits Nabi Dilihat dari Segi Kualitas Sanad dan Matan
Hadits Nabi adalah
salah satu sumber hukum disamping Alquran bagi kaum Muslimin. Akan tetapi hanya
Alquran dan hadits Mutawatir saja yang pasti dan wajib diterima menjadi hujjah.
Sementara hadits Nabi yang terkategori hadits ahad tidak semuanya bisa
digunakan dalil dan hujjah. Itu harus dilihat dulu dari kualitas hadits ahad
tersebut. Adakah ia shahih/ valid benar dari Nabi Muhammad, ataukah derajatnya
hasan, ataukah dhoif (tidak dipastikan kevalidannya merupakan hadits Nabi). Tiga
hal itu tidak lain ditimbang dan dilihat dari kualitas sanad dan matan hadits
ahad tersebut.
1.
Hadits
Shahih
Secara bahasa
artinya shahih adalah sehat tidak ada sakit atau cacat atau penyakit yang
diderita. Sementara hadits shahih artinya
هو ما اتصل سنده بنقل العدل الضابط ضبطا كاملا عن مثله و خلا من
الشذوذ و العلة.
Hadits yang bersambung sanadnya, dan
para perawinya adalah orang-orang yang adil,
dhabith, tanpa ada mengandung keraguan dan tidak pula kecacatan hadits.
Dilihat
dari definisi diatas dapat dijabarkan syarat-syarat hadits ahad hingga
mendapatkan predikat hadits shahih (valid) antara lain:
1)
Sanad
hadits tersebut mestilah bersambung. Maksudnya rangkaian perawi hadits dari
awal hingga terakhir tidak terputus dengan pengertian mereka satu sama lain benar-benar
bertemu (mubasyarah; bertatap muka) ketika mengambil dan menyampaikan hadits
tesebut. Untuk mengetahui hal itu bisa dilihat dari biografi para perawi adakah
ia sezaman dengan syaikh/ guru yang menyampaikan hadits kepadanya.
2)
Para
perawinya mestilah bersifat adil. Arti adil di sini adalah ia seorang muslim
yang baligh, berakal sehat, tidak dicap sebagai orang fasik, tidak jelek
perilakunya dengan menjaga citra dirinya (muruah). Adil tidaknya seseorang
dapat diketahui melewat penilaian para ulama jarh wat ta’dil yang
berkompeten dalam menilai baik-buruknya seorang perawi dalam buku-buku mereka.
Adapun perawi untuk tingkatan sahabat maka sudah ditetapkan bahwa semua sahabat
adalah adil dan diterima periwayatan mereka.
3)
Para
perawinya bersifat dhabith. Dhabit di sini artinya sempurna daya
rekamnya akan matan dan sanad hadits. Tidak keliru dalam redaksi kata-kata
hadits yang diriwayatkannya. Baik dengan bentuk hapalannya yang kuat atau ia
memiliki catatan yang valid tanpa salah. Kedhabitan seseorang perawi juga
dilihat dari komentar para ulama jarh wa ta’dil yang berkompeten menilai
baik-buruknya ingatan seorang perawi atau bisa juga dilihat melalui komparasi
antar hadits dimana matan hadits yang diriwayatkannya sesuai dan tak berbeda
dengan matan hadits dari sanad yang berbeda yang perawinya namuan telah dikenal
lebih dahulu ke dhobit annya.
4)
Isi
matan hadits tidak syadz artinya tidak janggal, tidak bertentangan atau menyelesihi
matan hadits lain yang sudah lebih dulu dinilai secara shahih dan valid.
5)
Tidak
ber-illat, artinya tidak ada sebab samar yang membuatnya cidera dan tak layak
dinilai sebagai hadits yang shahih. Kecideraan di sini bisa terdapat dalam
matan atau terdapat dalam sanad (seperti menyebutkan muttasil –hadits
bersambung sanad, terhadap hadits yang sebenarnya munqathi’i –terputus
sanad, atau mursal –tak disebutkan sanad sama sekali).
Dari beberapa
point di atas bisa disimpulkan bahwa bisa saja dalam sebuah hadits, yang shahih
hanya sanadnya tidak matannya karena syadz, atau sebaliknya yang shahih hanya
matan karena sesuai dengan matan hadits yang shahih lainnya, tapi tidak shahih
dari segi sanad karena rusaknya. Jadi tidak mesti shahih kedua-duanya[11].
Disamping pula
bahwa para ulama terkadang tidak sepakat atas keshahihan sebuah hadits yang
sama. Itu karena masing-masing ulama mempunyai syarat yang berbeda satu sama
lain. Seperti dalam penerimaan mereka atas riwayat seseorang perawi, ada yang
mempercayai kedhobitannya ada pula yang tidak mempercayainya. Perbedaan
pendapat di antara ulama dalam hal penerimaan atas sebuah hadits dengan
memberinya predikat shahih berdampak kepada perbedaan pendapat secara fikih
hasil ijtihad mereka dan ini dibenarkan dalam agama Islam terjadinya[12].
Para ulama
hadits kemudian membagi lagi hadits shahih kepada dua bagian: hadits shahih
lidzatihi (hadits yang secara sanad sudah dinilai shahih atau valid dengan
dirinya sendiri) dan hadits shahih lighoirihi (hadits shahih karena yang
lain, hadits yang awalnya sanadnya dinilai tidak shahih tapi kemudian naik
derajatnya menjadi shahih setelah diperkuat oleh hadits lain yang senada dari
jalur lain tapi sanadnya lebih shahih dari dirinya). Dari sini dapat diketahui
bahwa hadits shahih li dzatihi lebih tinggi derajatnya dari hadits shahih li
ghoirih.
Para ulama
hadits mengatakan hadits ahad yang bernilai shahih wajib diterima sebagai
hujjah dalam bidang hukum, akidah dan moral.
Buku hadits
terkenal yang memuat hadits shahih adalah Shahih Bukhori dan Shahih
Muslim. dan ada sekitar 4000 hadits pada masing-masing buku tersebut[13].
Disamping itu ada pula buku Shahih Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Hibban, Mustadrak
Al Hakim, dan buku-buku sunan yang berjumlah enam buah.
2.
Hadits
Dhoif
Secara bahasa
arti dhaif adalah lemah. Sementara hadits dhoif dimaknakan:
Hadits yang kekurangan satu syarat
atau lebih dari syarat-syarat yang ditetapkan agar dinilai sebagai hadits
shahih.
Kekurangan
syarat di sini bisa terdapat dalam sanad; berupa adanya cacat pada para perawi
baik dari sisi keadilan mereka (tidak fasik) dan kedhobitan mereka (tidak
lengkap catatan dan hapalan mereka), atau tidak bersambungnya sanad dari perawi
pertama hingga terakhir; dan bisa pula terdapat dalam matan, dimana isi redaksi
haditsnya bertentangan sama sekali dengan hadits yang lebih shahih darinya,
atau terdapat cacat yang dapat merusak keshahihan hadits seperti ada dugaan
yang kuat bahwa tidak mungkin sampai Nabi Muhammad bisa berkata seperti redaksi
itu.
Diantara
hadits dhoif adalah hadits yang berbunyi: barangsiapa yang mendatangi
istrinya yang masih haidh atau dari arah belakang, atau barangsiapa yang
mendatangi dukun, maka ia telah kafir dengan apa yang dibawa oleh Nabi Muhamamd
Saw. Salah satu perawi hadits ini bernama Hakim Al Atsari yang dinilai oleh
para ulama hadits sebagaiorang yang lemah periwayatannya, akhirnya hadits ini
dihukumkan hadits dhoif.
Para
ulama hadits berbeda pendapat perihal menjadikan hadits dhoif sebagai hujjah.
Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Yahya bin Mu’in mengatakan ketidakbolehan
penggunaan hadits dhoif secara mutlak baik dalam bidang moral, fadhilah amal,
terlebih lagi hukum dan akidah. Sementara Imam Ahmad dan Abu Dawud sebaliknya
mengatakan kebolehannya secara mutlak, karena menganggap hadits dhoif tetaplah
hadits (ucapan/ perbuatan nabi) selama bukan palsu buatan mengada-ada masih
lebih tinggi derajatnya daripada hasil pendapat akal murni seorang ulama. Adapun
jumhur ulama mengatakan bahwa hadits dhoif hanya boleh digunakan dalam hal-hal
moral dan fadhilah amal (hadits tentang khasiat/keutamaan ibadah), tapi tidak
untuk dijadikan landasan hukum dan akidah. Mereka memberikan syarat kebolehan
digunakan di sini antara lain bahwa kedhoifannya tidak terlalu besar[14]
(seperti tidak sampai derajat palsu), dan tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip agama.
Ditambah lagi
para ulama hadits mengharapkan untuk tidak terlalu meyakini hadits yang telah
dinilai dhoif ini adalah benar hadits Nabi secara penuh. Oleh karena itu bisa
dengan menggunakan bahasa “diriwayatkan”[15]
begini dan begini yang bernada ketidakjelasan adakah itu adalah benar hadits atau tidak. Berbeda dengan
hadits shahih yang mana redaksi harus jelas bahwa “ Rasulullah Saw bersabda….”.
ini semua demi kehati-hatian dalam meriwayatkan hadits yang dhoif.
3.
Hadits
Hasan
Hasan secara
bahasa artinya bagus. Sementara hadits hasan pengertiannya adalah:
Hadits ahad yang diriwayatkan oleh
orang yang adil dan lebih ringan kedhabitannya jika dibandingkan dengan para
perawi hadits shahih, sanad hadits tetap tersambung, tidak ada kecacatan dan
tidak syadz.
Maksudnya bahwa
hadits hasan ini tidak jauh berbeda dengan hadits shahih dari segi
ketersambungan sanad, citra para perawi yang adil dan dhobith, dan tidak
terdapat kecacatan dan ke-syadz-an pada matannya. Akan permasalahannya
ada di ke-dhobit-an[16]
dimana mutu kedhobitan salah satu perawinya di bawah standar para perawi hadits
shahih. Semisal kedhobitan (ketepatan catatan dan hapalan matan) salah satu
perawinya pernah sesekali tersalah dan keliru ketika menyebutkan kembali matan.
Tapi kelemahan di sini tidak sampai membuat perawi tersebut tercela lantaran
buruk ingatan dan sebagainya.
Salah satu
contoh hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Turmudzi dari jalan
Muhammad bin Amr dari Abi Salamah, dari
Abu Hurairah ra. Nabi Muhammad Saw bersabda: Andaikan tidak
kukhawatirkan berat atas umatku, niscaya kuperintahkan mereka agar bersiwak
setiap kali mau salat. Hadits ini dinilai hasan karena salah satu perawinya
yaitu Muhammad bin Amr dikenal sebagai orang yang kurang sempurna dhobitnya
karena lemah hapalan[17].
Klasifikasi
hadits ahad dengan nilai hasan ini baru diusulkan oleh Imam Turmudzi setelah
melihat banyak hadits yang semula dinilai hadits dhoif dianggap tidak layak
dikategorikan hadits dhoif tapi di saat yang sama juga belum pantas dimasukkan
dalam klasifikasi hadits shahih. Adanya klasifikasi hadits hasan menjadi solusi
atas masalah tersebut.
Sama seperti
hadits shahih, hadits hasan juga dibagi menjadi hasan lidzatih
(haditsnya dinilai hasan karena dirinya sendiri) dan hasan li ghoirihi
(haditsnya semula dinilai hadits yang dhoif, tapi setelah melihat kepada adanya
hadits lain yang lebih tinggi derajatnya akhirnya dinaikkan derajatnya menjadi
hasan). Hukum mengamalkan dan menerima hadits hasan sama seperti hadits shahih.
C.
Pembagian Hadits Nabi dilihat dari Sumber Beritanya
Para ulama
hadits selanjutnya juga membedakan penggunaan kata hadits dilihat dari sumber
beritanya (siapa pemilik awal matan hadits/ tentang siapa) menjadi beberapa
istilah hadits:
1.
Hadits
Qudsiy
Secara bahasa
qudsiy artinya suci. Hadits qudsiy diartikan hadits yang disampaikan oleh
Rasulullah berupa ungkapan perkataan Allah Swt bukan Alquran. Hadits qudsiy
sederhananya adalah pemilik matan hadits adalah Allah Swt. Biasanya bercerita
tentang kekuasaan Allah dan memiliki awalan redaksi kata: “Rasulullah Saw
bersabda, bahwa Allah Swt berkata: …” , dan semacamnya. Seperti contoh hadits
qudsiy berikut:
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْه قَالَ هناد : قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّم: قَالَ الله عَزَّ وَ جَلَّ :
الكَبْرِيَاءُ رِدَاءِيْ وَ الْعَظَمَةُ اِزَارِيْ فَمَنْ نَازَعَنِيْ وَاحِدًا
مِنْهُمَا قَذَفْتُهُ فِي النَّارِ. رَوَاه اَبُو دَاوُد.
Dari Abu Hurairah berkata:
Rasulullah Saw bersabda, bahwa Allah swt berfirman: Kesombongan itu adalah
selendangku, kebesaran itu adalah selempangku. Barangsiapa yang mengambilnya
dariku akan kulemparkan ke dalam neraka. (HR
Abu Dawud)
2.
Hadits
Marfu’
Secara bahasa
arti marfu’ adalah diangkat. Sementara secara istilah, hadits marf’u artinya
adalah hadits yang pemiliknya adalah Rasulullah Saw sendiri bisa berupa perkataan,
perbuatan dan taqrir beliau, tidak peduli apakah sanadnya bersambung atau
tidak.[18]
Sederhananya bila dikaitkan dengan diri pribadi Rasulullah maka disebut hadits
marfu’ tanpa melihat lagi apakah yang menyampaikan itu adalah sahabat (sanadnya
bersambung) atau orang yang datang jauh setelahnya (sanadnya terputus). Cukup
dengan berkata: “Rasulullah saw bersabda …” maka itu sudah disebut hadits
marfu’. Pengertian kata hadits secara sempit (hadits adalah perkataan,
perbuatan dan taqrir Nabi saja) diperjelas dengan menambahkan kata marfu’ untuk
membedakannya dari selainnya.
3.
Hadits
Mawquf
Secara bahasa
mawquf artinya terhenti. Secara istilah, pengertian hadits mawquf adalah semua
hadits yang pemiliknya adalah sahabat Nabi Saw. Bila hadits tersebut bercerita
tentang sahabat Nabi (perkataan, perbuatan dan taqrir) maka itu disebut hadits
mawquf tanpa melihat lagi apakah
sanadnya bersambung atau tidak.
Contoh hadits mawquf:
عن ابي سعيد الخضري قال: اِذَا اَيْقَظَ الرجُلُ اَهْلَهُ مِنَ
اللَيْلِ فَصَلَّيَا اَوْ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ جَمِيْعًا كُتِبَا فِيْ
الذَاكِرِينَ وَ الذَاكِرَات. رَوَاهُ ابو دَاود
Dari Abu Sa’id Al Khudriy ra: beliau
berkata: Jika seseorang memabangunkan istrinya pada malam hari lalu mereka
salat atau dia saja yang salat dua raka’at maka tercatat mereka sebagai orang
yang ahli dzikir laki-laki dan perempuan. HR Abu Dawud.
Perkataan indah
di atas ini bukan perkataan Nabi Muhammad Saw melainkan perkataan sahabat Nabi
bernama Abu Sa’id Al Khudriy. Perkataan (secara literlet: hadits) ini kemudian
disebut hadits mawquf karena sumber beritanya/ pemiliknya adalah sahabat Nabi Muhammad Saw. Hadits mawquf juga oleh beberapa ulama hadits
diberi istilah lain atsar shahabiy.
4.
Hadits
Maqthu’
Secara bahasa
arti maqthu’ adalah terputus. Secara istilah pemaknaan hadits maqthu’ merujuk
kepada perkataan, perbuatan, taqrir dari seorang muslim yang bukan sahabat Nabi
Muhammad Saw. Baik itu generasi tabi’in, atau dibawahnya yaitu tabi’ tabi’in. Mudahnya,
bila yang berkata, berbuat dan menetapkan sesuatu itu pelakunya adalah seorang
tabi’in atau tab’I tabi’in maka bisa disebut sebagai hadits maqthu’. Ingat arti
kata hadits di sini adalah dalam arti yang luas yaitu perkataan.
Contoh hadits maqthu’:
عَنْ عبد الرحمن بن ابي ليلى قَالَ: اِحَيَاءُ الحَدِيْث
مُذَاكَرَتُهُ فَذَاكِرُوْهُ . رواه ابو الخيثمة
Abdurrahman bin Abu Laila pernah
berkata: menghidupkan hadits Nabi adalah dengan cara mempelajarinya, maka itu
pelajarilah hadits Nabi. Diriwayatkan oleh Abu Al Khaitsamah.
Perkataan di atas ini adalah
perkataan seorang tabi’in bernama Abdurrahman bin Abu Laila. Perkataan di atas
ini bisa disebut sebagai hadits maqthu’.
Hadits mawquf
dan hadits maqthu’ oleh para ulama hadits disepakati tidak bisa digunakan untuk
dijadikan landasan hukum. Karena ia sejatinya hanyalah hasil pendapat atau
komentar dari seorang muslim.
D.
Pembagian Hadits Nabi dilihat dari Persambungan Sanad
Para ulama
hadits kemudian membedakan kembali istilah hadits dilihat dari segi bersambung
tidaknya sanad menjadi muttashil dan munqathi’. Berikut
penjelasannya.
1.
Hadits
Muttashil
Kata muttashil
secara bahasa artinya bersambung. Secara istilah hadits muttashil artinya
adalah hadits yang sanadnya (para perawinya) menyambung dari perawi pertama
hingga mukharrij (pemberi nilai hadits) dengan cara mendengar langsung
oleh masing-masing orang yang membawanya dari orang yang menyampaikan. Perawi
pertama di sini tidak lain adalah
sahabat (pada kasus hadits marfu’), atau tabi’in (pada kasus hadits mawquf).
Istilah hadits muttashil tidak berlaku pada kasus hadits maqthu’ kecuali bila
itu adalah tabi’in bernama Sa’id bin Musayyab. Istilah hadits muttashil juga
bisa disebut hadits mawshul (tersampai).
Contoh hadits
muttashil:
حدثنا عبد الله بن مسلمة عن مالك عن نافع عن ابن عمر ان رسول الله صلى
الله عليه وسلم قال: اَلَّذِيْ تَفُوْتُهُ صَلَاةُ العَصْرِ فَكَأنَّمَا وُتِرَ
اَهْلَهُ وَ مَالَهُ , رواه ابو داود
Dari Abdullah bin Maslamah, dari
Malik, dari Nafi’, dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah Saw bersabda: Orang
yang tidak mengerjakan salat ashar sekakan-akan ia menimpakan bencana ke atas
keluarganya dan hartanya (HR Abu Dawud).
Mukharrij hadits ini adalah Abu
Dawud, beliau mendapatkan hadits ini dari sanad pertama yaitu Abdullah bin
Maslamah, Abdullah sendiri mengambil dari sanad kedua yaitu Malik, Malik
mengambil dari sanad ketiga yaitu Nafi’, Nafi’ mengambil hadits tersebut dari
sanad terakhir (perawi pertama) yaitu sahabat Abdullah bin Umar. Karena para
perawi/ sanad di sini bersambung saling bertemu menyampaikan dan menerima
hadits maka disebutlah hadits ini muttashil sanad (bersambung sanadnya).
2.
Hadits
Musnad
Musnad diartikan
disandarkan. Hadits musnad didefisinikan sebagai hadits yang bersambung
sanadnya hingga Rasulullah Saw. Artinya hadits musnad ini lebih sempit dari
hadits muttashil, yaitu ujung sanad adalah Rasulullah Saw. Sementara hadits
muttashil lebih umum tidak mesti sampai Nabi Muhammad Saw.
3.
Hadits
Munqathi’
Kata munqathi’
secara bahasa artinya terputus. Hadits munqathi’ maksudnya hadits yang sanadnya
tak bersambung dari sanad pertama hingga sanad terakhir (perawi pertama). Ada
perawi yang tidak disebutkan dalam rangkaian sanad hadits tersebut (baik karena
ketidaktahuan atau pada faktanya tidak bertemu untuk menerima dan menyampaikan
hadits),. Istilah hadits munqathi’ ini adalah lawan kata dari hadits muttashil.
Bila oleh mukharrij (penilai hadits) didapatkan ada hadits yang tidak
tersambung sanadnya maka bisa dikategorikan sebagai hadits munqathi’i yang
kemudian pada kelanjutannya akan berimplikasi kepada penilaian hadits tersebut
yaitu dhoif lantaran tidak memenuhi syarat hadits shahih dari segi
ketersambungan sanad.
Wallahu a’lam
bis showab
KESIMPULAN
1.
Dalam
disiplin ilmu Hadits akan dikenal beberapa istilah-istilah yang terkenal dan
sering dipakai di kalangan para ulama umat Islam. Istilah-istilah itu dibuat
berlandaskan kepada indikator dan sudut pandang tertentu.
2.
Dilihat
dari sudut pandang kuantitas perawi akan dikenal istilah hadits mutawatir
(banyak perawinya di setiap tingkatan sanad), dan hadits ahad (perawinya tidak
sebanyak perawi hadits mutawatir).
3.
Menolak
hadits ahad tidak seperti hadits mutawatir yang berimplikasi dihukumkan murtad
keluar dari agama Islam karena dinilai sama saja telah menolak kepribadian Nabi
Muhammad Saw.
4.
Dilihat
dari segi kualitas sanad dan matan, hadits (khususnya hadits ahad) akan dikenal
istilah hadits shahih (valid), hadits hasan (satu tingkat di bawah shahih), dan
hadits dhoif (belum valid).
5.
Hadits
shahih dan hadits hasan wajib diterima dan dijadikan dalil dalam bidang hukum,
akidah dan moral; sementara hadits dhoif oleh para jumhur ulama hanya bisa
diterima dengan syarat dan hanya berlaku dalam bidang fadhilah amal / moral dan
bukan pada bidang hukum dan akidah.
6.
Dilihat
dari segi sumber berita (tentang siapa), dikenal istilah hadits qudsiy (yang
berkata adalah Allah swt), hadits marfu’ (yang berkata adalah Rasulullah
Muhammad Saw), hadits mawquf (yang
berkata adalah sahabat Nabi), dan hadits maqthu’ (yang berkata adalah tabi’in
dan generasi setelahnya).
7.
Dilihat
dari segi ketersambungan sanad, akan dikenal istilah hadits muttashil
(tersambung sanadnya dari awal hingga akhir), musnad (khusus sampai kepada
Nabi) dan hadits munqathi’ (tidak tersambung sanadnya karena tidak disebutkan
atau pada faktanya tidak ada pertemuan dalam rangka menyampaikan dan menerima
hadits).
REFERENSI
Khon,
Abdul majid, Ulumul Hadits, cetakan kedua, Bumi Aksara, Jakarta, 2013
Hafidz
Hasan Al Mas’udi, Minhatul Mughits fi ‘Ilmi Mushtalahil Hadits,
Percetakan Muhammad bin Ahmad Nabhan, Surabaya, tanpa tahun
Thahhan,
Mahmud, Taysir Mustalahil Hadits, Darut Turats Al-Arabiy, Kairo, 1981
Afifi,
Tal’at Muhammad, Adab al Ikhtilafat al Fiqhiyyah wa Atsaruhu fil Amal al
Islamiy al Muashir¸ Darus Salam, Kairo, 2005
Al
Khust, Muhammad Utsman, Mafatih ‘Ulumul Hadits wa Thuruq Takhrijih, Maktabah
Alquran, Kairo, tanpa tahun
[1]
Abdul Majid
Khon, Ulumul Hadits, cetakan kedua, (Jakarta, Bumi Aksara, 2013), h. 3
[2]
Abdul Majid
Khon, Ulumul ... h. 147
[3]
Mahmud Thahhan,
Taysir Mustalahil Hadits, (Kairo: Darut Turats Al-Arabiy, 1981), h. 17
[4]
Abdul Majid
Khon, Ulumul ... h. 148
[5]
Mahmud Thahhan,
Taysir … h. 18
[6]
Mahmud Thahhan,
Taysir … h. 19
[7]
Abdul Majid
Khon, Ulumul ... h. 150
[8]
Muhammad Utsman
Al Khust, Mafatih ‘Ulumul Hadits wa Thuruq Takhrijih, (Kairo: Maktabah
Alquran, tanpa tahun), h. 54
[9]
Abdul Majid
Khon, Ulumul ... h. 156
[10]
Mahmud Thahhan,
Taysir … h. 22
[11]
Hafidz Hasan Al
Mas’udi, Minhatul Mughits fi ‘Ilmi Mushtalahil Hadits, (Surabaya:
Percetakan Muhammad bin Ahmad Nabhan, tanpa tahun), h. 10
[12]
Tal’at Muhammad
Afifi, Adab al Ikhtilafat al Fiqhiyyah wa Atsaruhu fil Amal al Islamiy al
Muashir¸ cetakan 1 (Kairo, Darus Salam, 2005), h. 15
[13]
Mahmud Thahhan,
Taysir … h. 31
[14]
Hafidz Hasan Al
Mas’udi, Minhatul… h. 10
[15]
Abdul Majid
Khon, Ulumul ... h. 185
[16]
Abdul Majid
Khon, Ulumul ... h. 179
[17]
Hafidz Hasan Al
Mas’udi, Minhatul… h. 8
[18]
Hafidz Hasan Al
Mas’udi, Minhatul… h. 14
No comments:
Post a Comment