Friday, December 26, 2014

Makalah Studi Hadits: Pembagian Hadits Nabawi Ditinjau dari Kuantitas Perawi, Kualitas Sanad dan Matan, Sumber Berita, dan Persambungan Sanad



PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Hadits Nabawi ialah semua ucapan, perbuatan dan persetujuan Nabi Muhammad Saw[1] . Ada beberapa fungsi hadits Nabi Muhammad saw. Pertama, sebagai syarah atau penjelas daripada ayat ayat Alquran yang merupakan sumber syariat pertama, kedua sebagai sumber syariat kedua dimana hadits menyinggung hal-hal yang belum disinggung oleh ayat Alquran. Di posisi ini hadits nabi disejajarkan dengan Alquran dengan sama-sama menjadi rujukan syara’ dalam agama Islam.
Terdapat persamaan dan perbedaan antara Alquran dan Assunnah dalam sudut pandang ini. Yaitu sama-sama menjadi duo rujukan utama hukum-hukum syara’, juga sama-sama terdiri dari ayat/ hadits yang qoth’iy dalalah (artinya penunjukkan atas suatu makna secara eksplisit tidak ada makna kedua) dan zhonniy dalalah (penunjukkan atas suatu makna tidak terang masih ada kemungkinan tafsir makna yang berbeda).
Adapun perbedaannya, Alquran adalah qoth’iy tsubut (ayat-ayatnya dipastikan benar adalah alquran tidak ada keraguan di dalamnya), dimana barangsiapa yang menolak ayat-ayat alquran baik secara global dan terperinci maka secara syara’ diputuskan telah keluar dari Islam. Sementara hadits nabawi adakalanya qothiy tsubut ada kalanya zhonniy tsubut (masih ada kemungkinan walau kecil bahwa itu tidak benar bersumber dari Nabi Muhamamd Saw). Ini karena hadits nabi memiliki tingkatan-tingkatan yang berbeda satu sama lain, sehingga penerimaan terhadap sebuah hadits akan memunculkan perbedaan pendapat diantara kaum muslimin. Tingkatan-tingkatan / derajat hadits seperti inilah yang akan dibahas dalam makalah ini.

B.     Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi sentral pembahasan pada makalah ini adalah:
1.      Bagaimanakah pembagian hadits nabi dilihat dari kuantitas para perawinya?
2.      Bagaimanakah pembagian hadits nabi dilihat dari kualitas sanad dan matannya?
3.      Bagaimanakah pembagian hadits nabi dilihat dari sumber beritanya?
4.      Bagaimanakah pembagian hadits nabi dilihat dari persambungan sanadnya?

C.    Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan dari pembahasan dalam makalah ini adalah:
1.      Kita akan mengetahui istilah-istilah yang dikenal dalam disiplin ilmu studi hadits nabawi dilihat dari berbagai sudut pandang yang sangat perlu diketahui. Semisal istilah hadits marfu’, hadits mawquf, hadits maqthu’, hadits qudsiy, hadits mutawatir, hadits ahad, hadits masyhur, hadits aziz, hadits ghorib, hadits shahih, hadits hasan, hadits dhoif, hadits muttashil, hadits munqathi’ dan sebagainya.  


PEMBAHASAN

A.    Pembagian Hadits Nabi Dilhat dari Segi Kuantitas Perawi
Dilihat dari segi kuantitas perawi hadits (orang yang menyampaikan riwayat hadits), maka hadits bisa dibedakan menjadi tiga macam: Mutawatir dan  Ahad. Kata kuantitas perawi di sini maksudnya dari segi banyaknya jumlah perawi yang meriwayatkan sebuah hadits di setiap tingkatan generasi (sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in) hingga kepada orang yang mentakhrij hadits (membukukan dan menghukumkan hadits). Pembagian ini akan berdampak di akhirnya kepada penerimaan sebuah hadits untuk sah tidaknya menjadi sebuah hujjah/ dalil agama ataukah tidak. Hadits yang diriwayatkan oleh jumlah periwayat yang banyak dalam suatu periode/ generasi tentu kualitas sanadnya lebih kuat jika dibandingkan dengan hadits yang hanya diriwayatkan oleh satu orang saja di setiap generasinya.

1.      Hadits Mutawatir
Secara bahasa arti mutawatir adalah mutatabi’ artinya berturut-turut, beruntun, susul-menyusul antara satu dengan yang lain. Sementara secara istilah, hadits mutawatir adalah:
مَا رَوَاهُ جَمْعٌ كَثِيْرٌ تُحِيْلُ العَادَةُ تَوَاطُؤُهُمْ عَلَى الْكَذِبِ عَنْ مِثْلِهِ اِلَى مُنْتَهَاهُ
Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak yang menurut kebiasaan dipastikan mustahil bila mereka bersepakata dalam kebohongan, mulai dari awal sanad hingga akhir sanad..
Para ulama hadits memberikan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh sebuah hadits agar bisa terkategori hadits mutawatir. Antara lain:
a.       Jumlah perawi di setiap tingkatan sanad/ generasi harus mencapai suatu angka tertentu hingga bisa ditetapkan mustahil sebanyak mereka bersepakat untuk berdusta mengarang-ngarang hadits. Meskipun kemudian para ulama berbeda-beda dalam menetapkan angka tersebut. Abu Tayyib menentukan angka empat orang per tingkatan sanad, para ulama madzhab Syafi’iyah menentukan angka lima orang per tingkatan sanad, Ibnu Hajar dan Imam Nawawi dari madzhab Syafi’iy menentukan sekurang-kurangnya angka 10 orang (dan ini yang rajih menurut ulama hadits), bahkan sebagian ulama yang lain menyebutkan jumlah angkanya menembus 20, 70 bahkan hingga 300 orang per tingkatan sanad[2].
b.      Jumlah perawi yang banyak di setiap tingkatan sanad ini menurut kebiasaan dan akal manusia mustahil melakukan kesepatakan untuk berbohong membuat-buat hadits[3].
c.       Kemustahilan bersepakat untuk mengada-adakan hadits ini terjadi di setiap tingkatan sanad. Tidak hanya di salah satu tingkatan saja, semisal di tingkatan sahabat saja.
d.      Pemberian dan penerimaan hadits sandarannya inderawi (berita didengar oleh telinga atau dilihat oleh mata, atau dirasakan oleh kulit)[4]. Maksudnya redaksinya menggunakan kata-kata seperti “Kami telah mendengar”, “Kami telah melihat”, atau “kami telah merasakan”[5].
Lantaran ketatnya syarat hadits mutawatir inilah maka tidaklah aneh bila dikatakan jumlah hadits mutawatir amatlah sedikit dan langka[6].

Para ulama hadits juga membagi kembali hadits mutawatir ini kepada tiga:
a.       Mutawatir Lafzhiy (redaksi matan hadits ketika diriwayatkan tiap tingkatannya benar-benar mirip antar satu dengan yang lain).
Seperti hadits Nabi berikut:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Barangsiapa yang sengaja berdusta kepadaku maka hendaklah bersiap-siap ia menempati tempatnya di neraka.
Disebutkan bahwa hadits ini telah diriwayatkan oleh 40 orang sahabat dengan susunan redaksi dan makan yang benar-benar sama dan diriwayatkan oleh hampir semua imam-imam hadits pemilik kutubus sittah.
b.      Mutawatir Maknawiy (secara maksud sama, tapi secara lafazh berbeda-beda antara satu dengan yang lain jalur periwayatan). Seperti hadits berikut:
عن ثابت بن انس قال: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَرْفَعُ يَدَيْهِ في الدُّعَاءِ حَتَّى يُرَي بَيَاضُ اِبْطِهِ
Dari Tsabit bin Anas ra berkata: Aku telah melihat Rasulullah Saw mengangkat kedua tangannya dalam doa hingga putih-putih kulit ketiak beilau terlihat.
Hadits ini oleh para ulama hadits disebutkan telah diriwayatkan sebanyak tiga puluh jalur periwayatan namun dengan redaksi yang berbeda-beda.

c.       Mutawatir ‘Amaliy (mencontohkan perbuatan Nabi sama persis di setiap generasi). Semisal tata cara salat Nabi, cara haji dan sebagainya.

Para ulama sepakat mengatakan bahwa hadits mutawatir ini berada setingkat di bawah Alquran dari segi kehujjahannya karena ia tergolong dalil yang qoth’iyyuts tsubut (sudah dipastikan benar diucapkan dan dilakukan oleh Nabi Muhammad tanpa keraguan sedikit pun). Artinya hadits ini wajib diterima tanpa boleh ditolak. Para ulama menghukumi orang yang menolak hadits mutawatir sama seperti menolak diri pribadi Nabi Muhammad Saw yang artinya memiliki konsekuensi telah murtad keluar dari agama Islam. Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu ilmu dharuriy / yakin sekali, karena itu harus diterima dengan pasti tanpa perlu meneliti lagi para perawinya saking banyaknya para perawinya[7]. Bahkan sebagian ulama tidak memasukkan hadits mutawatir ini ke dalam pembahasan ilmu hadits karena tidak perlu ada pemeriksaaan sifat sifat perawinya; apakah mereka ‘adil, dhobith atau tidak, bahkan apakah mereka muslim atau tidak, fasik atau soleh[8].  
Di antara buku-buku hadits yang memuat khusus hadits-hadits yang dengan kualitas mutawatir adalah: Al-Azhar Al-Mutanatsirah fil Akhbar Al-Mutawatirah karangan Jalaludin Suyuthi dan Nadzmu Al Mutanatsirah min Al-Hadits Al-Mutawatirah yang dikarang oleh Ja’far Al-Kinani.

2.      Hadits Ahad
Menurut bahasa kata ahad artinya satu. Hadits ahad menurut ulama hadits adalah:
مَا لَا يَحْتَوِيْ عَلَى شُرُوْطِ التَوَاتُرِ
Hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk terkategori hadits mutawatir.
Maksudnya tidak lain adalah jumlah para perawi per tiap tingkatan yang meriwayatkan hadits ahad tidak mencapai angka yang telah ditetapkan ulama hadits untuk disebut hadits mutawatir sehingga hal itu tidak sampai meyakinkan bahwa mereka (para perawi) tidak berbohong mengada-ngada atas diri Rasulullah saw.
Bila hadits mutawatir para perawinya di tiap tingkatan berjumlah lebih dari sepuluh orang (ini pendapat yang rajih di antara para ulama hadits), maka hadits ahad ini jumlah perawinya di bawah itu. Ada yang hanya lima orang, empat orang, dua orang atau bahkan hanya satu orang per tingkatan sanadnya. Dari sanalah kemudian para ulama hadits mencoba membagi lagi hadits ahad ini ke beberapa istilah yang lebih kecil sebagai berikut:
a.       Hadits masyhur
Ialah hadits yang jumlah perawinya per tingkatan sanad berjumlah mulai dari tiga orang lebih, tapi tak sampai jumlah angka yang ditetapkan untuk disebut mutawatir (sepuluh orang). Istilah hadits masyhur juga bisa digunakan buat hadits yang terkenal (masyhur)  di kalangan tertentu tanpa melihat kepada jumlah perawinya, semisal hadits masyhur (terkenal) di kalangan ulama fikih, ulama ushul fikih, ulama hadits, dan sebagainya. Penggunaan istilah masyhur di sini adalah masyhur ghoiru ishtilahiy (masyhur secara bahasa bukan secara terma khusus dalam ilmu hadits)[9]. 
b.      Hadits Aziz
Ialah hadits yang jumlah perawinya di salah satu tingkatan sanad hanya berjumlah dua orang, meskipun di tingkatan lain ada yang berjumlah lebih dari dua; atau dua orang di semua tingkatan sanad, tapi tidak ada yang kurang dari dua orang[10].
c.       Hadtis Gharib
Ialah hadits yang perawinya hanya satu orang pada satu tingkatan sanad. Dan dibedakan menjadi gharib mutlak (benar-benar hanya satu orang per tingkatan sanad) atau gharib nisbiy (dalam satu tingkatan hanya satu orang yang bisa dipercaya periwayatannya meskipun orangnya banyak). Ungkapan lain untuk hadits dengan cirri seperti ini adalah hadits fard (menyendiri).

            Hadits ahad tidak seperti hadits mutawatir dari segi kekuatan hujjahnya. Hadits ahad hanya zhanniyut tsubut (masih bisa diragukan bahwa itu memang diucapkan atau dilakukan oleh Nabi Muhammad), ditentukan oleh mutu sanad dan matan hadits tersebut adakah ia bernilai shahih (valid), hasan ataukah dhoif (belum tentu valid). Karena itu orang yang menolak hadits ahad terlebih lantaran lemahnya tidak berkonsekuensi keluarnya orang tersebut dari Islam seperti layaknya menolak hadits mutawatir.

B.     Pembagian Hadits Nabi Dilihat dari Segi Kualitas Sanad dan Matan
Hadits Nabi adalah salah satu sumber hukum disamping Alquran bagi kaum Muslimin. Akan tetapi hanya Alquran dan hadits Mutawatir saja yang pasti dan wajib diterima menjadi hujjah. Sementara hadits Nabi yang terkategori hadits ahad tidak semuanya bisa digunakan dalil dan hujjah. Itu harus dilihat dulu dari kualitas hadits ahad tersebut. Adakah ia shahih/ valid benar dari Nabi Muhammad, ataukah derajatnya hasan, ataukah dhoif (tidak dipastikan kevalidannya merupakan hadits Nabi). Tiga hal itu tidak lain ditimbang dan dilihat dari kualitas sanad dan matan hadits ahad tersebut.
1.      Hadits Shahih
Secara bahasa artinya shahih adalah sehat tidak ada sakit atau cacat atau penyakit yang diderita. Sementara hadits shahih artinya
هو ما اتصل سنده بنقل العدل الضابط ضبطا كاملا عن مثله و خلا من الشذوذ و العلة.
Hadits yang bersambung sanadnya, dan para perawinya adalah orang-orang yang adil, dhabith, tanpa ada mengandung keraguan dan tidak pula kecacatan hadits.
            Dilihat dari definisi diatas dapat dijabarkan syarat-syarat hadits ahad hingga mendapatkan predikat hadits shahih (valid) antara lain:
1)      Sanad hadits tersebut mestilah bersambung. Maksudnya rangkaian perawi hadits dari awal hingga terakhir tidak terputus dengan pengertian mereka satu sama lain benar-benar bertemu (mubasyarah; bertatap muka) ketika mengambil dan menyampaikan hadits tesebut. Untuk mengetahui hal itu bisa dilihat dari biografi para perawi adakah ia sezaman dengan syaikh/ guru yang menyampaikan hadits kepadanya.
2)      Para perawinya mestilah bersifat adil. Arti adil di sini adalah ia seorang muslim yang baligh, berakal sehat, tidak dicap sebagai orang fasik, tidak jelek perilakunya dengan menjaga citra dirinya (muruah). Adil tidaknya seseorang dapat diketahui melewat penilaian para ulama jarh wat ta’dil yang berkompeten dalam menilai baik-buruknya seorang perawi dalam buku-buku mereka. Adapun perawi untuk tingkatan sahabat maka sudah ditetapkan bahwa semua sahabat adalah adil dan diterima periwayatan mereka.
3)      Para perawinya bersifat dhabith. Dhabit di sini artinya sempurna daya rekamnya akan matan dan sanad hadits. Tidak keliru dalam redaksi kata-kata hadits yang diriwayatkannya. Baik dengan bentuk hapalannya yang kuat atau ia memiliki catatan yang valid tanpa salah. Kedhabitan seseorang perawi juga dilihat dari komentar para ulama jarh wa ta’dil yang berkompeten menilai baik-buruknya ingatan seorang perawi atau bisa juga dilihat melalui komparasi antar hadits dimana matan hadits yang diriwayatkannya sesuai dan tak berbeda dengan matan hadits dari sanad yang berbeda yang perawinya namuan telah dikenal lebih dahulu ke dhobit­ annya.
4)      Isi matan hadits tidak syadz artinya tidak janggal, tidak bertentangan atau menyelesihi matan hadits lain yang sudah lebih dulu dinilai secara shahih dan valid.
5)      Tidak ber-illat, artinya tidak ada sebab samar yang membuatnya cidera dan tak layak dinilai sebagai hadits yang shahih. Kecideraan di sini bisa terdapat dalam matan atau terdapat dalam sanad (seperti menyebutkan muttasil –hadits bersambung sanad, terhadap hadits yang sebenarnya munqathi’i –terputus sanad, atau mursal –tak disebutkan sanad sama sekali).  
Dari beberapa point di atas bisa disimpulkan bahwa bisa saja dalam sebuah hadits, yang shahih hanya sanadnya tidak matannya karena syadz, atau sebaliknya yang shahih hanya matan karena sesuai dengan matan hadits yang shahih lainnya, tapi tidak shahih dari segi sanad karena rusaknya. Jadi tidak mesti shahih kedua-duanya[11].
Disamping pula bahwa para ulama terkadang tidak sepakat atas keshahihan sebuah hadits yang sama. Itu karena masing-masing ulama mempunyai syarat yang berbeda satu sama lain. Seperti dalam penerimaan mereka atas riwayat seseorang perawi, ada yang mempercayai kedhobitannya ada pula yang tidak mempercayainya. Perbedaan pendapat di antara ulama dalam hal penerimaan atas sebuah hadits dengan memberinya predikat shahih berdampak kepada perbedaan pendapat secara fikih hasil ijtihad mereka dan ini dibenarkan dalam agama Islam terjadinya[12].
Para ulama hadits kemudian membagi lagi hadits shahih kepada dua bagian: hadits shahih lidzatihi (hadits yang secara sanad sudah dinilai shahih atau valid dengan dirinya sendiri) dan hadits shahih lighoirihi (hadits shahih karena yang lain, hadits yang awalnya sanadnya dinilai tidak shahih tapi kemudian naik derajatnya menjadi shahih setelah diperkuat oleh hadits lain yang senada dari jalur lain tapi sanadnya lebih shahih dari dirinya). Dari sini dapat diketahui bahwa hadits shahih li dzatihi lebih tinggi derajatnya dari hadits shahih li ghoirih.  
Para ulama hadits mengatakan hadits ahad yang bernilai shahih wajib diterima sebagai hujjah dalam bidang hukum, akidah dan moral.
Buku hadits terkenal yang memuat hadits shahih adalah Shahih Bukhori dan Shahih Muslim. dan ada sekitar 4000 hadits pada masing-masing buku tersebut[13]. Disamping itu ada pula buku Shahih Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Hibban, Mustadrak Al Hakim, dan buku-buku sunan yang berjumlah enam buah.

2.      Hadits Dhoif
Secara bahasa arti dhaif adalah lemah. Sementara hadits dhoif dimaknakan:
Hadits yang kekurangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat yang ditetapkan agar dinilai sebagai hadits shahih.
            Kekurangan syarat di sini bisa terdapat dalam sanad; berupa adanya cacat pada para perawi baik dari sisi keadilan mereka (tidak fasik) dan kedhobitan mereka (tidak lengkap catatan dan hapalan mereka), atau tidak bersambungnya sanad dari perawi pertama hingga terakhir; dan bisa pula terdapat dalam matan, dimana isi redaksi haditsnya bertentangan sama sekali dengan hadits yang lebih shahih darinya, atau terdapat cacat yang dapat merusak keshahihan hadits seperti ada dugaan yang kuat bahwa tidak mungkin sampai Nabi Muhammad bisa berkata seperti redaksi itu.
            Diantara hadits dhoif adalah hadits yang berbunyi: barangsiapa yang mendatangi istrinya yang masih haidh atau dari arah belakang, atau barangsiapa yang mendatangi dukun, maka ia telah kafir dengan apa yang dibawa oleh Nabi Muhamamd Saw. Salah satu perawi hadits ini bernama Hakim Al Atsari yang dinilai oleh para ulama hadits sebagaiorang yang lemah periwayatannya, akhirnya hadits ini dihukumkan hadits dhoif. 
            Para ulama hadits berbeda pendapat perihal menjadikan hadits dhoif sebagai hujjah. Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Yahya bin Mu’in mengatakan ketidakbolehan penggunaan hadits dhoif secara mutlak baik dalam bidang moral, fadhilah amal, terlebih lagi hukum dan akidah. Sementara Imam Ahmad dan Abu Dawud sebaliknya mengatakan kebolehannya secara mutlak, karena menganggap hadits dhoif tetaplah hadits (ucapan/ perbuatan nabi) selama bukan palsu buatan mengada-ada masih lebih tinggi derajatnya daripada hasil pendapat akal murni seorang ulama. Adapun jumhur ulama mengatakan bahwa hadits dhoif hanya boleh digunakan dalam hal-hal moral dan fadhilah amal (hadits tentang khasiat/keutamaan ibadah), tapi tidak untuk dijadikan landasan hukum dan akidah. Mereka memberikan syarat kebolehan digunakan di sini antara lain bahwa kedhoifannya tidak terlalu besar[14] (seperti tidak sampai derajat palsu), dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama.
Ditambah lagi para ulama hadits mengharapkan untuk tidak terlalu meyakini hadits yang telah dinilai dhoif ini adalah benar hadits Nabi secara penuh. Oleh karena itu bisa dengan menggunakan bahasa “diriwayatkan”[15] begini dan begini yang bernada ketidakjelasan adakah itu adalah  benar hadits atau tidak. Berbeda dengan hadits shahih yang mana redaksi harus jelas bahwa “ Rasulullah Saw bersabda….”. ini semua demi kehati-hatian dalam meriwayatkan hadits yang dhoif.  

3.      Hadits Hasan
Hasan secara bahasa artinya bagus. Sementara hadits hasan pengertiannya adalah:
Hadits ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil dan lebih ringan kedhabitannya jika dibandingkan dengan para perawi hadits shahih, sanad hadits tetap tersambung, tidak ada kecacatan dan tidak syadz.
Maksudnya bahwa hadits hasan ini tidak jauh berbeda dengan hadits shahih dari segi ketersambungan sanad, citra para perawi yang adil dan dhobith, dan tidak terdapat kecacatan dan ke-syadz-an pada matannya. Akan permasalahannya ada di ke-dhobit­-an[16] dimana mutu kedhobitan salah satu perawinya di bawah standar para perawi hadits shahih. Semisal kedhobitan (ketepatan catatan dan hapalan matan) salah satu perawinya pernah sesekali tersalah dan keliru ketika menyebutkan kembali matan. Tapi kelemahan di sini tidak sampai membuat perawi tersebut tercela lantaran buruk ingatan dan sebagainya.
Salah satu contoh hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Turmudzi dari jalan Muhammad bin Amr dari Abi Salamah, dari  Abu Hurairah ra. Nabi Muhammad Saw bersabda: Andaikan tidak kukhawatirkan berat atas umatku, niscaya kuperintahkan mereka agar bersiwak setiap kali mau salat. Hadits ini dinilai hasan karena salah satu perawinya yaitu Muhammad bin Amr dikenal sebagai orang yang kurang sempurna dhobitnya karena lemah hapalan[17].
Klasifikasi hadits ahad dengan nilai hasan ini baru diusulkan oleh Imam Turmudzi setelah melihat banyak hadits yang semula dinilai hadits dhoif dianggap tidak layak dikategorikan hadits dhoif tapi di saat yang sama juga belum pantas dimasukkan dalam klasifikasi hadits shahih. Adanya klasifikasi hadits hasan menjadi solusi atas masalah tersebut.
Sama seperti hadits shahih, hadits hasan juga dibagi menjadi hasan lidzatih (haditsnya dinilai hasan karena dirinya sendiri) dan hasan li ghoirihi (haditsnya semula dinilai hadits yang dhoif, tapi setelah melihat kepada adanya hadits lain yang lebih tinggi derajatnya akhirnya dinaikkan derajatnya menjadi hasan). Hukum mengamalkan dan menerima hadits hasan sama seperti hadits shahih.



C.    Pembagian Hadits Nabi dilihat dari Sumber Beritanya
Para ulama hadits selanjutnya juga membedakan penggunaan kata hadits dilihat dari sumber beritanya (siapa pemilik awal matan hadits/ tentang siapa) menjadi beberapa istilah hadits:
1.      Hadits Qudsiy
Secara bahasa qudsiy artinya suci. Hadits qudsiy diartikan hadits yang disampaikan oleh Rasulullah berupa ungkapan perkataan Allah Swt bukan Alquran. Hadits qudsiy sederhananya adalah pemilik matan hadits adalah Allah Swt. Biasanya bercerita tentang kekuasaan Allah dan memiliki awalan redaksi kata: “Rasulullah Saw bersabda, bahwa Allah Swt berkata: …” , dan semacamnya. Seperti contoh hadits qudsiy berikut:
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْه قَالَ هناد : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّم: قَالَ الله عَزَّ وَ جَلَّ : الكَبْرِيَاءُ رِدَاءِيْ وَ الْعَظَمَةُ اِزَارِيْ فَمَنْ نَازَعَنِيْ وَاحِدًا مِنْهُمَا قَذَفْتُهُ فِي النَّارِ. رَوَاه اَبُو دَاوُد.
Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah Saw bersabda, bahwa Allah swt berfirman: Kesombongan itu adalah selendangku, kebesaran itu adalah selempangku. Barangsiapa yang mengambilnya dariku akan kulemparkan ke dalam neraka. (HR Abu Dawud) 
2.      Hadits Marfu’
Secara bahasa arti marfu’ adalah diangkat. Sementara secara istilah, hadits marf’u artinya adalah hadits yang pemiliknya adalah Rasulullah Saw sendiri bisa berupa perkataan, perbuatan dan taqrir beliau, tidak peduli apakah sanadnya bersambung atau tidak.[18] Sederhananya bila dikaitkan dengan diri pribadi Rasulullah maka disebut hadits marfu’ tanpa melihat lagi apakah yang menyampaikan itu adalah sahabat (sanadnya bersambung) atau orang yang datang jauh setelahnya (sanadnya terputus). Cukup dengan berkata: “Rasulullah saw bersabda …” maka itu sudah disebut hadits marfu’. Pengertian kata hadits secara sempit (hadits adalah perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi saja) diperjelas dengan menambahkan kata marfu’ untuk membedakannya dari selainnya. 

3.      Hadits Mawquf
Secara bahasa mawquf artinya terhenti. Secara istilah, pengertian hadits mawquf adalah semua hadits yang pemiliknya adalah sahabat Nabi Saw. Bila hadits tersebut bercerita tentang sahabat Nabi (perkataan, perbuatan dan taqrir) maka itu disebut hadits mawquf tanpa  melihat lagi apakah sanadnya bersambung atau tidak.
Contoh hadits mawquf:
عن ابي سعيد الخضري قال: اِذَا اَيْقَظَ الرجُلُ اَهْلَهُ مِنَ اللَيْلِ فَصَلَّيَا اَوْ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ جَمِيْعًا كُتِبَا فِيْ الذَاكِرِينَ وَ الذَاكِرَات. رَوَاهُ ابو دَاود
Dari Abu Sa’id Al Khudriy ra: beliau berkata: Jika seseorang memabangunkan istrinya pada malam hari lalu mereka salat atau dia saja yang salat dua raka’at maka tercatat mereka sebagai orang yang ahli dzikir laki-laki dan perempuan. HR Abu Dawud.
Perkataan indah di atas ini bukan perkataan Nabi Muhammad Saw melainkan perkataan sahabat Nabi bernama Abu Sa’id Al Khudriy. Perkataan (secara literlet: hadits) ini kemudian disebut hadits mawquf karena sumber beritanya/ pemiliknya adalah sahabat  Nabi Muhammad Saw.  Hadits mawquf juga oleh beberapa ulama hadits diberi istilah lain atsar shahabiy.

4.      Hadits Maqthu’
Secara bahasa arti maqthu’ adalah terputus. Secara istilah pemaknaan hadits maqthu’ merujuk kepada perkataan, perbuatan, taqrir dari seorang muslim yang bukan sahabat Nabi Muhammad Saw. Baik itu generasi tabi’in, atau dibawahnya yaitu tabi’ tabi’in. Mudahnya, bila yang berkata, berbuat dan menetapkan sesuatu itu pelakunya adalah seorang tabi’in atau tab’I tabi’in maka bisa disebut sebagai hadits maqthu’. Ingat arti kata hadits di sini adalah dalam arti yang luas yaitu perkataan.
Contoh hadits maqthu’:
عَنْ عبد الرحمن بن ابي ليلى قَالَ: اِحَيَاءُ الحَدِيْث مُذَاكَرَتُهُ فَذَاكِرُوْهُ . رواه ابو الخيثمة
Abdurrahman bin Abu Laila pernah berkata: menghidupkan hadits Nabi adalah dengan cara mempelajarinya, maka itu pelajarilah hadits Nabi. Diriwayatkan oleh Abu Al Khaitsamah.
Perkataan di atas ini adalah perkataan seorang tabi’in bernama Abdurrahman bin Abu Laila. Perkataan di atas ini bisa disebut sebagai hadits maqthu’.  
Hadits mawquf dan hadits maqthu’ oleh para ulama hadits disepakati tidak bisa digunakan untuk dijadikan landasan hukum. Karena ia sejatinya hanyalah hasil pendapat atau komentar dari seorang muslim.

D.    Pembagian Hadits Nabi dilihat dari Persambungan Sanad
Para ulama hadits kemudian membedakan kembali istilah hadits dilihat dari segi bersambung tidaknya sanad menjadi muttashil dan munqathi’. Berikut penjelasannya.
1.      Hadits Muttashil
Kata muttashil secara bahasa artinya bersambung. Secara istilah hadits muttashil artinya adalah hadits yang sanadnya (para perawinya) menyambung dari perawi pertama hingga mukharrij (pemberi nilai hadits) dengan cara mendengar langsung oleh masing-masing orang yang membawanya dari orang yang menyampaikan. Perawi pertama di sini  tidak lain adalah sahabat (pada kasus hadits marfu’), atau tabi’in (pada kasus hadits mawquf). Istilah hadits muttashil tidak berlaku pada kasus hadits maqthu’ kecuali bila itu adalah tabi’in bernama Sa’id bin Musayyab. Istilah hadits muttashil juga bisa disebut hadits mawshul (tersampai). 
Contoh hadits muttashil:
حدثنا عبد الله بن مسلمة عن مالك عن نافع عن ابن عمر ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: اَلَّذِيْ تَفُوْتُهُ صَلَاةُ العَصْرِ فَكَأنَّمَا وُتِرَ اَهْلَهُ وَ مَالَهُ , رواه ابو داود
Dari Abdullah bin Maslamah, dari Malik, dari Nafi’, dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah Saw bersabda: Orang yang tidak mengerjakan salat ashar sekakan-akan ia menimpakan bencana ke atas keluarganya dan hartanya (HR Abu Dawud). 
Mukharrij hadits ini adalah Abu Dawud, beliau mendapatkan hadits ini dari sanad pertama yaitu Abdullah bin Maslamah, Abdullah sendiri mengambil dari sanad kedua yaitu Malik, Malik mengambil dari sanad ketiga yaitu Nafi’, Nafi’ mengambil hadits tersebut dari sanad terakhir (perawi pertama) yaitu sahabat Abdullah bin Umar. Karena para perawi/ sanad di sini bersambung saling bertemu menyampaikan dan menerima hadits maka disebutlah hadits ini muttashil sanad (bersambung sanadnya).

2.      Hadits Musnad
Musnad diartikan disandarkan. Hadits musnad didefisinikan sebagai hadits yang bersambung sanadnya hingga Rasulullah Saw. Artinya hadits musnad ini lebih sempit dari hadits muttashil, yaitu ujung sanad adalah Rasulullah Saw. Sementara hadits muttashil lebih umum tidak mesti sampai Nabi Muhammad Saw.

3.      Hadits Munqathi’
Kata munqathi’ secara bahasa artinya terputus. Hadits munqathi’ maksudnya hadits yang sanadnya tak bersambung dari sanad pertama hingga sanad terakhir (perawi pertama). Ada perawi yang tidak disebutkan dalam rangkaian sanad hadits tersebut (baik karena ketidaktahuan atau pada faktanya tidak bertemu untuk menerima dan menyampaikan hadits),. Istilah hadits munqathi’ ini adalah lawan kata dari hadits muttashil. Bila oleh mukharrij (penilai hadits) didapatkan ada hadits yang tidak tersambung sanadnya maka bisa dikategorikan sebagai hadits munqathi’i yang kemudian pada kelanjutannya akan berimplikasi kepada penilaian hadits tersebut yaitu dhoif lantaran tidak memenuhi syarat hadits shahih dari segi ketersambungan sanad.
Wallahu a’lam bis showab

 
KESIMPULAN
1.      Dalam disiplin ilmu Hadits akan dikenal beberapa istilah-istilah yang terkenal dan sering dipakai di kalangan para ulama umat Islam. Istilah-istilah itu dibuat berlandaskan kepada indikator dan sudut pandang tertentu.
2.      Dilihat dari sudut pandang kuantitas perawi akan dikenal istilah hadits mutawatir (banyak perawinya di setiap tingkatan sanad), dan hadits ahad (perawinya tidak sebanyak perawi hadits mutawatir).
3.      Menolak hadits ahad tidak seperti hadits mutawatir yang berimplikasi dihukumkan murtad keluar dari agama Islam karena dinilai sama saja telah menolak kepribadian Nabi Muhammad Saw.
4.      Dilihat dari segi kualitas sanad dan matan, hadits (khususnya hadits ahad) akan dikenal istilah hadits shahih (valid), hadits hasan (satu tingkat di bawah shahih), dan hadits dhoif (belum valid).
5.      Hadits shahih dan hadits hasan wajib diterima dan dijadikan dalil dalam bidang hukum, akidah dan moral; sementara hadits dhoif oleh para jumhur ulama hanya bisa diterima dengan syarat dan hanya berlaku dalam bidang fadhilah amal / moral dan bukan pada bidang hukum dan akidah.
6.      Dilihat dari segi sumber berita (tentang siapa), dikenal istilah hadits qudsiy (yang berkata adalah Allah swt), hadits marfu’ (yang berkata adalah Rasulullah Muhammad Saw), hadits mawquf  (yang berkata adalah sahabat Nabi), dan hadits maqthu’ (yang berkata adalah tabi’in dan generasi setelahnya).
7.      Dilihat dari segi ketersambungan sanad, akan dikenal istilah hadits muttashil (tersambung sanadnya dari awal hingga akhir), musnad (khusus sampai kepada Nabi) dan hadits munqathi’ (tidak tersambung sanadnya karena tidak disebutkan atau pada faktanya tidak ada pertemuan dalam rangka menyampaikan dan menerima hadits).



REFERENSI
Khon, Abdul majid, Ulumul Hadits, cetakan kedua, Bumi Aksara, Jakarta, 2013
Hafidz Hasan Al Mas’udi, Minhatul Mughits fi ‘Ilmi Mushtalahil Hadits, Percetakan Muhammad bin Ahmad Nabhan, Surabaya, tanpa tahun
Thahhan, Mahmud, Taysir Mustalahil Hadits, Darut Turats Al-Arabiy, Kairo, 1981
Afifi, Tal’at Muhammad, Adab al Ikhtilafat al Fiqhiyyah wa Atsaruhu fil Amal al Islamiy al Muashir¸ Darus Salam, Kairo, 2005
Al Khust, Muhammad Utsman, Mafatih ‘Ulumul Hadits wa Thuruq Takhrijih, Maktabah Alquran, Kairo, tanpa tahun



[1] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, cetakan kedua, (Jakarta, Bumi Aksara, 2013), h. 3
[2] Abdul Majid Khon, Ulumul ... h. 147
[3] Mahmud Thahhan, Taysir Mustalahil Hadits, (Kairo: Darut Turats Al-Arabiy, 1981), h. 17
[4] Abdul Majid Khon, Ulumul ... h. 148
[5] Mahmud Thahhan, Taysir … h. 18
[6] Mahmud Thahhan, Taysir … h. 19
[7] Abdul Majid Khon, Ulumul ... h. 150
[8] Muhammad Utsman Al Khust, Mafatih ‘Ulumul Hadits wa Thuruq Takhrijih, (Kairo: Maktabah Alquran, tanpa tahun), h. 54
[9] Abdul Majid Khon, Ulumul ... h. 156
[10] Mahmud Thahhan, Taysir … h. 22
[11] Hafidz Hasan Al Mas’udi, Minhatul Mughits fi ‘Ilmi Mushtalahil Hadits, (Surabaya: Percetakan Muhammad bin Ahmad Nabhan, tanpa tahun), h. 10
[12] Tal’at Muhammad Afifi, Adab al Ikhtilafat al Fiqhiyyah wa Atsaruhu fil Amal al Islamiy al Muashir¸ cetakan 1 (Kairo, Darus Salam, 2005), h. 15
[13] Mahmud Thahhan, Taysir …  h. 31
[14] Hafidz Hasan Al Mas’udi, Minhatul… h. 10
[15] Abdul Majid Khon, Ulumul ... h. 185
[16] Abdul Majid Khon, Ulumul ... h. 179
[17] Hafidz Hasan Al Mas’udi, Minhatul…  h. 8
[18] Hafidz Hasan Al Mas’udi, Minhatul… h. 14

No comments:

Post a Comment