PENDAHULUAN
Teks
Arab
السؤال:
ما
حكم التوسل بـجاه النبي محمد صلى الله عليه و سلم؟
الجواب:
التوسل بـجاه النبي صلى الله عليه و سلم
جائز في مذهبنا و مذهب جمهور اهل العلم من الحنفية و المالكية و الحنابلة في
المعتـمد من كـتبهم و ذلك أن مقام النبي صلى الله عليه وسلم العظيم ومنزلته
الرفيعة عند الله عز وجل ثابتة في الكتاب والسنة، ومن توسل بأمر ثابت فلا حرج عليه
لعموم قوله عز وجل: (وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ) المائدة/35، خاصة وقد ورد
في ذلك حديث خاص، وهو حديث عثمان بن حنيف رضي الله عنه حين علمه النبي صلى الله
عليه وسلم هذا الدعاء: (اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ
بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ) رواه الترمذي (رقم/3578) وقال: حسن
صحيح
يقول الامام النووي رخمه الله في معرض
حديثه عن اداب زيارة قبر النبي صلى الله عليه و سلم ثم يرجع الى موقفه الاول قبالة
وجه رسول الله صلى الله عليه وسلم فيتوسل به في حق نفسه و يتشفع به الى ربه سبحانه
و تعالى. انتهى الاذكار
ويقول الكمال ابن الهمام رحمه الله:
"يسأل الله تعالى حاجته متوسلا إلى الله بحضرة نبيه عليه الصلاة
والسلام" انتهى. فتح القدير (3 : 181)
وفي "حاشية العدوي" (1/5):
"وجعلنا من المتَّبعين له في أقواله وأفعاله، بمحمد وآله وصحبه وعترته
آمين" انتهى.
ويقول البهوتي رحمه الله: "ولا بأس بالتوسل
بالصالحين، ونصه - يعني الإمام أحمد
- في منسكه الذي كتبه للمروذي أنه يتوسل بالنبي صلى الله
عليه وسلم في دعائه، وجزم به في المستوعب وغيره" انتهى. "كشاف
القناع" (2/73)
وعلى كل حال: فالمسألة من مسائل الفروع التي لا يجوز
الإنكار فيها وإحداث الشقاق والنزاع، وهذا ابن تيمية رحمه الله وهو من القائلين
بمنع التوسل بالجاه- يقول: "وإن كان في العلماء مَن سوغه، فقد ثبت عن غير
واحد من العلماء أنه نهى عنه، فتكون مسألة نزاع، فيُرد ما تنازعوا فيه إلى الله
ورسوله، ويُبدي كل واحد حجته كما في سائر مسائل النزاع، وليس هذا من مسائل
العقوبات بإجماع المسلمين، بل المعاقب على ذلك معتد جاهل ظالم . انتهى.
"مجموع الفتاوى (1: 285-286)
والله أعلم
Terjemahan
Teks
Pertanyaan:
Apa hukum bertawassul dengan kemuliaan
Nabi Muhammad SAW?
Jawaban:
Bertawassul
dengan kemuliaan Nabi Muhammad SAW hukumnya boleh dalam madzhab kami dan
madzhab para ahlul ilmi baik itu Madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah
dan itu termaktub dalam buku-buku mereka sebagai pendapat yang lebih rajih bagi
mereka. Itu karena maqom atau kedudukan Nabi Muhammad SAW yang besar dan
kedudukan beliau disisi Allah yang tinggi sudah tsubut termaktub dalam Alquran
dan Alhadits. Barangsiapa yang bertawassul dengan sesuatu yang sudah tetap maka
tidak ada dosa melakukannya. Dalilnya keumumuman firman Allah yang berbunyi:
يا
ايها الذين امنوا اِتَّقُوْا اللهَ وَابْتَغُوْا اِلَيْهِ الوَسِيْلَةَ وَ
جَاهِدُوا فِي سَبِيْلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْن
Wahai orang orang beriman bertakwalah kepada Allah dan carilah
jalan yang mendekatkan diri kepadanya, dan berjihadlah di jalan Allah agar kamu
mendapat keberuntungan. (Al-Maidah ayat 35)
Ditambah lagi dengan hadits nabi yang
lebih spesifik menyinggung hal ini. Yaitu hadits riwayat Utsman bin Hanif ra
bahwa beliau diajari oleh Nabi doa sebagai berikut:
اللهم
اِنِّيْ اَسْأَلُكَ وَ اَتَوَجَّهُ اِلَيْكَ بِنِبِيِّكَ مُحَمّدٍ نَبِيِّ
الرَحْمَة
Ya Allah hamba memohon kepadamu dan hamba menghadap Mu dengan diri
nabi Mu, Nabi Muhammad SAW, sang nabi kasih sayang. Hadits riwayat
Turmudzi no 3578 dengan derajat hadits hasan shohih.
Imam Nawawi berkomentar
ketika menjelaskan hadits tentang adab berziyarah ke kubur Nabi Muhammad SAW:
“… kemudian kembali ke tempat
berdirinya yang pertama dan menghadap ke wajah rasulullah SAW lalu ia
bertawassul dengan diri nabi dalam urusannya,
meminta syafaat
(bantuan) kepada Allah dengan diri Nabi Muhammad. (Al adzkar)
Kammal bin Hammam
ra berkata: ia memohonkan hajat permintaannya kepada Allah dengan melewat
tawassul (meminta tengahi) dengan diri nabi Muhammad SAW. (Fathul qodir 1/ 181)
Terdapat dalam
buku yang berjudul Hasyiyah al-Adwiy disebutkan: dan semoga Allah
menjadikan kita termasuk dalam pengikut Nabi Muhammad dalam perkataan dan
perbuatannya dengan berkah diri Nabi Muhammad sahabatnya dan keturunannya.
Amin.
Al-Bahuti berkata:
tidak mengapa bertawassul (meminta tengahi) dengan orang-orang soleh. Imam Ahmad
menuliskannya dalam bukunya yang ditulis buat al marwadzi bahwa beliau (imam
ahmad) bertawassul dengan diri nabi dalam doanya. Beliau tegaskan kembali hal
itu dalam bukunya yang berjudul Mustaw’ib dan selainnya. (Kassyaful
Qina’)
Ala kulli hal, yang pasti permasalahan ini adalah termasuk dari permasalahan
furu’ dimana tidak dibolehkan bagi seorang pun untuk mengingkari perkara furu’
yang memang diperselisihkan sehingga memunculkan perpecahan dan perdebatan.
Syaikh Ibnu
Taimiyah adalah salah seorang ulama yang tidak sependapat dengan kebolehan
bertawassul dengan diri nabi. Beliau berkata: Meskipun di antara para ulama itu
terdapat orang yang membolehkannya, yang pasti bahwa tak ada satu pun yang
melarang hal itu. Sehingga jadilah masalah tawassul ini permasalahan yang
diperdebatkan. Maka hendaklah apa yang didebatkan dikembalikan kepada Allah dan
rasul-Nya, dimana masing-masing orang yang berdebat dipersilakan menyampaikan dalil
dan argumennya masing-masing. Demikian pula dalam seluruh seluruh perkara yang
diperselisihkan. Dan perkara ini menurut kesepakatan kaum muslimin bukanlah termasuk
perkara penghakiman benar salah. Bahkan barangsiapa yang menghakimi atas
perkara ini maka ia adalah orang yang melampaui batas, bodoh lagi zalim. (Majmu’
Fatawa 1/ 285-286). Wallahu a’lam
PEMBAHASAN
Ulasan Terhadap Teks:
Bismillahirrohmanirrohim.
Teks fatwa
terdapat dalam website: www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=3851 yang
merupakan web resmi milik dewan fatwa negara Yordania.
Halaman fatwa
dimulai dengan menyebutkan sebuah list yang berisi nama pemberi fatwa yaitu Dewan
Fatwa Yordania dengan rujukan mufti umum Syaikh Abdul Karim al-Khoshowanah,
kemudian disebutkan judul fatwa, nomor fatwa, tanggal dikeluarkan fatwa, dan
jenis dari fatwa tersebut. Setelah daftar di atas, dilanjutkan dengan teks
fatwa yang dimaksud. Dimana dimulai dengan sebuah pertanyaan yang ditandai
dengan kata as-sual (pertanyaan).
Dalam kalimat
pertanyaan penanya hanya menggunakan bahasa yang sangat singkat. “Apakah hukum
bertawassul kepada diri kehormatan Nabi Muhammad SAW?” tidak diawali oleh
kalimat pembuka seperti salam dan hamdalah atau sholawat, atau semacam cerita
pendahuluan. Barangkali sudah dipersingkat agar lebih efesien.
Paragraf
selanjutnya adalah jawaban atau fatwa atas pertanyaan yang diberikan. Ditandai
dengan al-jawab di bagian atas. Setelah menyebut hamdalah dan salawat
nabi, kalimat-kalimat awal langsung menyebutkan hukum bertawassul dengan Nabi Muhammad
SAW adalah boleh dilakukan. Kemudian menyebutkan beberapa madzhab fikih yang
mengatakan senada dengan hal itu. dengan argumen bahwa kedudukan Nabi Muhammad SAW
di sisi Allah adalah tinggi dan besar, dan itu ditetapkan oleh Alquran dan
Assunnah. Barangsiapa yang bertawassul dengan sesuatu yang telah ditetapkan
oleh Alquran dan Assunnah maka tidak ada dosa untuk melakukannya. Firman Allah
dalam surah Al-Maidah ayat 35 dijadikan dalil sekalipun ayat tersebut bicara
wasilah (perantara) hanya secara umum. Ditambah dengan hadits Nabi Muhammad
riwayat Imam Turmudzi yang menceritakan seorang Sahabat Nabi diajarkan oleh Nabi
Muhammad sebuah doa yang redaksinya secara khusus mengajarkan tawassul dengan
diri Nabi Muhammad SAW.
Paragraf-paragraf
selanjutnya adalah pendapat-pendapat para ulama yang membolehkan bertawassul
dengan diri Nabi Muhammad SAW. Diantaranya Imam Nawawi rahimahullah dari
madzhab Syafi’i yang terdapat dalam bukunya yang terkenal Al-Adzkar.
Kemudian ada pendapat Kammal bin Hammam yang dikutip dari bukunya Fathul Qodir.
Lebih jauh Al-Bahuti
menyebutkan kebolehan bertawassul ini tidak hanya kepada diri Nabi Muhammad
tapi juga kepada orang-orang soleh secara umum. Dikuatkan dengan cerita Imam
Ahmad yang terbiasa bertawassul kepada Nabi Muhammad di setiap doanya.
Di paragraf
terakhir disebutkan kesimpulan fatwa bahwa perkara bertawassul kepada diri Nabi
Muhammad SAW adalah perkara yang diperselisihkan para ulama. Ada yang
membolehkan ada pula yang tidak membolehkan. Salah satu yang tidak membolehkan
adalah Syaikh Ibnu Taimiyah rahimahullah. Meski demikian beliau
mengatakan bahwa perkara seperti ini tidak ada yang berhak menghakimi benar
salah. Sehingga siapa yang berani melakukannya maka ia termasuk orang yang
melampaui batas, bodoh dan zalim. Wallahu a’lam.
Tambahan Ulasan Teks
Pengertian Tawassul
Kata tawassul
diambil dari kata wasilah yang artinya secara bahasa antara lain:
1.
Kedudukan
di sisi raja
2.
Kedudukan
3.
Mendekatkan
diri
4.
Perantara
Arti tawassul
adalah menggunakan wasilah/ perantara untuk mencapai sesuatu. Oleh para
pelakunya tawassul dimaksudkan untuk menggapai ridho dan ganjaran yang
diinginkan oleh setiap orang yang beriman kepada Allah. Tawassul/ membuat
perantara adalah disyariatkan sebagaimana firman Allah surah Al-Maidah ayat 35:
يا
ايها الذين امنوا اِتَّقُوْا اللهَ وَابْتَغُوْا اِلَيْهِ الوَسِيْلَةَ وَ
جَاهِدُوا فِي سَبِيْلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْن
Wahai orang orang beriman bertakwalah kepada Allah dan carilah
jalan yang mendekatkan diri kepadanya, dan berjihadlah di jalan Allah agar kamu
mendapat keberuntungan.
Bila disebut
kata-kata: “Ia bertawassul kepadanya dengan sesuatu” itu artinya ia mendekatkan
diri dengan sebuah wasilah (perantara). Wasilah adalah semua yang dijadikan
sebab dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah. Wasilah itu sendiri mestilah
memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah. Betawassul bisa disederhanakan
menjadi menyebut-nyebut sesuatu kebaikan dan kemuliaan di sisi Allah demi untuk
mengaharap mendapatkan perhatian dan terkabulnya doa.
Macam-Macam Tawassul dan Pro Kontra
Mengenainya
Setidaknya kita
dapat paparkan di sini beberapa macam tawassul berikut pandangan ulama
tentangnya.
1.
Tawassul
dengan dzat Allah swt; seperti ucapan seseorang ketika berdoa: Ya Allah dengan
dzat Mu yang mulia, kabulkanlah hajatku.
2.
Tawassul
dengan asma dan nama Allah swt; seperti ucapan seseorang ketika berdoa: Ya
Allah Engkau yang Maha Kasih Sayang, Engkau Maha Pengampun, ampunilah kami,
kasih sayangilah kami, dan kabulkanlah hajat kami.
3.
Tawassul
dengan amal soleh; seperti ucapan seseorang ketika berdoa: Ya Allah hamba
pernah bersedekah dengan harta yang banyak dan itu hamba lakukan dengan ikhlas
hanya mengharap ridho Mu, karena itulah hamba mohon agar Engkau berkenan
mengabulkan hajat permintaan kami.
4.
Tawassul
dengan diri nabi, wali atau orang soleh; seperti ucapan seseorang ketika
berdoa: Ya Allah, demi Nabi Mu yang mulia, dengan berkah dan kemuliaan si fulan
di sisi Mu, kabulkanlah hajat kami. Atau bisa pula macam tawassul yang keempat
ini diartikan memohon doakan kepada nabi dan orang soleh.
Untuk macam
tawassul untuk nomor 1, 2 dan 3 maka oleh ulama dikategorikan sebagai tawassul
yang tidak terdapat perbedan pendapat ulama di dalamnya, terkait kebolehan
melakukannya. Tak ada satu pun ulama yang mengingkari kebolehan bertawassul
dengan tiga cara pertama ini.
Dalilnya:
وَ
للهِ الأَسْـمَـاءُ الْحُـسْـنَـى فَـادْعُـوْهُ بِـهَـا
Hanya milik Allah lah asma’ul
husnaa, mohonlah kepadaNya dengan menyebut asmaul husna itu (Surah Al-A’rof ayat 180)
Juga hadits shahih yang diriwayatkan
oleh Ahmad, Nasai, dan lain-lain; dari Salman,
“Ya Allah, dengan ilmu Mu terhadap
perkara gaib dan dngan kekuasan Mu untuk menciptakan, hidupkanlah aku jika
Engkau megnetghaui bahwa hidup adalah lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku
jika Engkau mengetahui bahwa mati adalah lebih baik bagiku.”
Kemudian diantara dalil tentang
kebolehan bertawassul dengan amal soleh adalah surah Ali Imron ayat 53 dimana
Allah swt berfirman:
رَبَّنَا
اَمَنَّا بِمَا اَنْزَلْتَ وَ اتَّبَعْنَا الرَّسُوْلَ فَاكْتُبْنَا مَعَ
الشَّاهِدِيْنَ
Ya
Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan, dan kami
telah mengikuti Rasul, karena itu masukanlah kami ke dalam golongan orang-orang
yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah).
Juga hadits yang sangat masyhur
tentang tiga orang soleh yang terkubur dalam gua runtuh:
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
dari Ibnu Umar dia berkata: bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda. Ada tiga
orang sebelum kalian yang sedang berjalan. Tiba-tiba mereka terkena hujan dan
berlindung ke sebuah goa. Tetapi mereka terkunci. Lalu seseorang berkata kepada
yang lain: Demi Allah tidak ada yang menyelamatkan kalian kecuali dengan apa
yang telah kalian sedekahkan. Hendaklah seorang dari kalian berdoa dengan hal
yang telah disedekahkannya. Lalu salah seorang mereka berkata; Ya Allah Engkau mengetahui
bahwa aku mempunyai seorang pekerja yang bekerja untukku dengan upah satu faraq beras. Lalu dia pergi dan meninggalkan beras tersebut.
Ketika itu, aku mengambill faraq
tersebut dan menanamnya untuk membeli seekor sapi. Lalu orang tersebut datang
kepadaku meminta upahya. Aku berkata; ambillah sapi tersebut. Dia berkata
kepadaku: aku memiliki satu faraq beras padamu. Aku berkata lagi; ambilah
sapi tesebut karena ia adalah faraq tersebut. Kemudian dibawanya lah sapi itu. Jika
Engkau mengetahui bahwa aku melakukan hal itu semata takut kepada Mu
bebaskanlah kami dari bencana ini. Lalu batu yang menutup gua pun mulai tebuka.
Lelaki yang lain berkata: Ya Allah Engaku
mengetahui bahwa saya mempunyai dua orangtua yang sudah sangat tua. Setiap
malam saya memberi mereka susu dari kambing milik saya. Pada sautu malam saya
datang terlambat. Ketika tiba di rumah mereka berdua sudah tidur sedangkan
keluargaku menangis karena rasa lapar. Aku tidak memberi minum keluargaku
kecuali setelah kedua orangtuaku minum terlebih dahulu. Namun aku tidak nign
membangungkan mereka lalu kami diam hingga mereka minum. Aku pun menunggu
hingga terbit fajar. Jika Engkau mengetahui aku melakukan hal itu karena aku
takut kepada Mu bebaskanlah kami dari bencana ini. Lalu batu pun tebuka hingga
mereka bisa melihat langit.
Lelaki yang terakhir berkata: Ya Allah
Engaku mengetahui bahwa pamanku mempunyai seorang anak perempuan yang sangat
aku cintai. Aku pernah mgngodanya tetapi dia menolak kecuali jika aku mmberinya
seratus dinar. Lalu aku mencarinya hingga mampu. Aku pun mendantangi anak
pamanku dengan uang itu dan memberikannya kepadanya. Dia pun lalu memberikan
dirinya kepadaku. Ketika aku hendak menggaulinya dia berkata: Bertawaklah kepada
Allah. Jangan memecahkan cincin keacuali dengan haknya. Lalu aku pun berdiri
dan meninggalkan seratus dinar itu. Jika engkau mengatahui aku melaukan hal itu
karena semata takut kepada Mu, bebaskan kami dari bencana ini. Lalu batu pun
terbuka keseluruhan hingga mereka bertiga bisa keluar dari gua tersebut.
Adapun untuk
macam tawassul yang keempat; yaitu bertawassul dengan diri para nabi dan para
orang soleh, maka para ulama baik salaf maupun khalaf berbeda pendapat. Perbedaan
pendapat yang mendasar adalah antara yang membolehkan dan yang tidak
membolehkan. Kemudian terdapat lagi perbedaan di antara mereka yang
menghukumkan kebolehan tawassul seperti ini.
Ada ulama yang
membolehkan tawassul kepada diri Nabi atau kepada diri para orang soleh. Ada
ulama yang hanya membolehkan bertawassul atas diri Nabi saja, tidak selain
nabi. Ada ulama yang membolehkan bila maksud tawassul di sini minta doakan
kepada diri nabi atau orang soleh (itu pun hanya ketika nabi dan orang soleh tersebut
masih hidup. Bila sudah meninggal maka tidak boleh). Ada pula yang membolehkan
baik itu selama mereka hidup ataupun setelah mereka telah tiada. Mereka
beranggapan kebolehan memintakan doa tidak dibatasi oleh waktu hanya ketika
Nabi Muhammad masih hidup tapi juga setelah beliau wafat. Itu karena sejatinya
para Nabi tidaklah meninggal di dalam kuburnya.
Dalil-dalil Mereka yang Berpendapat
Boleh
Adapun para
ulama yang berpendapat tentang bolehnya tawassul dengan diri Nabi dan orang
soleh; baik itu dalam bentuk minta doakan kepada mereka, atau sekedar
menyebutkan nama dan kebesaran mereka di sisi Allah ketika berdoa; menjadikan
keumuman wasilah/ perantara yang disinggung oleh surah Al-Maidah ayat 35 di
atas sebagai dalilnya. Mereka memandang bahwa bertawassul kepada diri para
nabi, termasuk nabi Muhammad juga kepada para orang-orang soleh, dilakukan
semata karena memandang mereka-mereka itu adalah hamba-hamba yang dimuliakan
oleh Allah, mereka juga diberi keistimewaan dengan diizinkan memberikan syafaat
(bantuan) kepada siapa saja dengan izin Allah. Hal ini adalah perkara yang
disepakati oleh umat ini.
Juga kemudian
bahwa Rasulullah sendiri mengajarkan bertawassul dengan dirinya. Tersebut dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani, dari Anas bin Malik beliau
berkata:
Manakala Fatimah bintu Asad ibunda
Ali bin Abi Thalib meninggal dunia, Rasulullah datang …… tatkala sudah selesai
penguburannya, Rasulullah mendekat ke kuburnya dan membaca : “Wahai Allah yang
menghidupkan dan mematikan. Yang hidup tak akan mati. Ampunilah bagi ibuku
Fatimah binti Asad dan bimbinglah hujjahnya, luaskanlah baginya jalan masuknya,
dengan diri Nabimu dan para nabi yang diutus sebelumku. Sungguhnya
Engkau amat sangat kasih sayang”. Al
Kabir 24/ 351
Untuk tawassul
dengan makna meminta doakan kepada orang soleh, baik itu para nabi dan para
wali maka sesungguhnya mereka percaya bahwa orang-orang tersebut memiliki
kedudukan yang khusus di sisi Allah.
meminta doakan kepada orang lain sangat diharap doanya lebih mudah dikabulkan
oleh Allah terlebih bila bila orang yang kita minta doakan itu adalah orang
takwa dan orang soleh.
Dalil yang
diikemukakan adalah apa yang dilakukan oleh seorang buta yang datang kepada
Nabi Muhammad dan memintakan doa agar Allah menyembuhkan penglihatannya dalam
hadits riwayat Ahmad dari Utsman bin Hanif. Bahwa seseorang laki laki yang
matanya buta mendatangi Nabi Muhammad. Dia berkata: berdoalah kepada Allah agar
Dia menyembuhkanku. Beliau menjawab: jika mau aku mendokan kamu. Jika mau aku akhirkan
itu. Dan itu lebih baik. (Dalam redaksi hadits lain: jika kamu bersabar itu
adalah lebih baik bagimu) . Dia berkata: Berdoalah kepada Alah. Lalu Nabi pun
memerintahkannya unttuk berwudhu lalu dia pun berwudhu dengan baik dan kemudian
salat dua rakaat. Nabi Muhammad kemudian mengajarkan orang itu berdoa seperti
ini: Ya Allah Sungguhnya Aku memintamu dengan aku menghadapankan diriku kepada
Mu dengan diri Nabi Mu Muhammad sang Nabi kasih sayang. Wahai Muhammad
sungguhnya aku bertawaajjuh denganmu kepada Tuhanku dalam urusanku ini agar
engkau kabulkan bagiku. Ya Allah berilah izin beliau memberi syafaat padaku.
Utsman bin Hanif kemudian mengatakan bahwa orang tersebut kemudian sembuh
matanya. Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad yang shahih dan para
rawinya yang kuat. Demikian pula dishahihkan oleh Turmudzi dan Hakim. Bahkan
Syaikh Albaniy yang termasuk dari ulama yang tidak membolehkan bertawassul,
mengatakan bahwa hadits ini shahih.
Dalil-dali Mereka yang Berpendapat
Tidak Boleh
Para ulama yang
mengatakan bahwa bertawassul dengan diri Nabi, dzatnya atau kehormatannya, juga
diri orang-orang soleh, maka hal itu tidak dibenarkan dilakukan. Pertama
alasannya bahwa hal itu tidaklah diperintahkan oleh Allah dan dicontohkan oleh
Rasulullah.
مَنْ
عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ اَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa mengerjakan apa saja
perkara yang tidak perintah dari kami maka tertolak. (HR Muslim)
Mereka juga berpendapat bahwa bentuk
bertawassul dengan diri para Nabi dan orang soleh ini bisa membawa pelakunya
kepada pintu kesyirikan. Dimana hati manusia dianggap akan mudah tergelincir
kepada memahami permintaan doanya itu ditujukan kepada orang yang mereka
sebutkan itu. dan mencegah hal itu amatlah baik.
Hal ini
dibantah oleh ulama yang berpendapat sebaliknya. Mereka menjawab bahwa arti
awal dari bertawassul dengan nabi dan orang soleh maksudnya: orang yang berdoa
meminta keapda Allah sambil menyebut kehormatan seseorang di sisi Allah dan
keberkahannya; menjadikan nabi sebagai perantara agar Allah mau mengabulkan
doanya, juga meminta bantuan kepada Nabi agar mendoakannya. Nabi berhak
mendoakan dan lebih pantas dipintai bantuan agar mendoakan. Meminta doakan
kepada orang lain adalah lebih diharap terkabulnya. Terlebih bila itu adalah
orang yang lebih soleh dari kita. Meminta kepada nabi pun bukan berarti meminta
kepada diri nabi yang akan mengabulkannya, melainkan meminta kepada Allah
dengan berkah diri Nabi. Niat itu yang menentukan amal. Perkara syirik tidak
syirik itu dalam keyakinan hati. Siapakah yang tahu dengan isi hati?
Dari kesemua
ini tidak ada satu pun yang menyatakan bahwa bertawassul adalah bentuk dari
meminta kepada selain Allah. Karena bila dilihat dari redaksi dalil-dalil yang
dikemukakan, tak ada satu pun yang mengatakan dengan kata-kata: kabulkan doa
kami wahai nabi, kabulkan wahai orang soleh dan seterusnya. Karena bila kita
meminta kepada selain Allah atau meminta penyelesaian urusan kepada orang yang
sudah meninggal, maka sudah jelas kita telah jatuh kepada yang namanya syirik,
menduakan Allah dalam hal meminta, dapat membuat pelakunya keluar dari agama,
demikian fatwa Syaikh Shalih bin Fauzan.
Padahal kepadanya kiat menyembah dan kepadanya kita meminta. Karena itulah di
antara ulama yang tidak membolehkan tawassul dengan diri nabi ini, hanya
berfatwa sebatas kebid’ahannya dan hukumnya haram, tanpa menyebutnya itu
sebagai kesyirikan dimana pelakunya bisa dituduh telah keluar dari agama Islam karena
telah menyekutukan Allah.
Di antara
ulama-ulama yang berpendapat tentang tidak bolehnya bertawassul dengan diri
nabi dan orang soleh adalah Syaikh Ibnu Taimiyah, Syaikh Yusuf Qaradawi, Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab, Syaikh Albaniy. Sementara Imam Ahmad dan juga
pendapat Izzuddin bin Abdissalam (dari madzhab Hanafi) hanya membolehkan
tawassul kepada diri Nabi Muhammad saja, tidak selainnya. Para Ulama ini
berargumen bahwa dalil-dalil yang digunakan untuk menguatkan kebolehan
bertawassul dengan diri seseorang, tidak sekuat dalil yang membolehkan
bertawassul dengan tiga hal yang disepakati para ulama dan telah dijelaskan di
atas. Argumen seperti ini dibenarkan karena salah satu faktor terjadinya
perbedaan pendapat dalam masalah fikih adalah penerimaan terhadap dalil hadits
dari segi shahih tidak shahih, atau dari segi pemahaman yang berbeda atas nash
dalil yang diberikan, atau bahwa dalil itu pemahamannya tidak seperti itu.
Meskipun
demikian tak ada satu pun dari ulama ini yang melampaui batas dalam perkara
furu’. Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri mengatakan dalam Majmu’ Fatawa-nya
sebagaimana dikutip oleh Syaikh Qaradawi: “kita tidak mengingkari orang yang
melakukannya”. Hasan Al-Banna mengatakan bahwa perkara tawassul dengan diri
nabi dan orang soleh adalah termasuk dari permasalahan fikih yaitu perbedaan
dalam hal tata cara berdoa dan tidak termasuk dalam perkara akidah.
Maksudnya dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam permasalahan fikih berlaku
kaidah:
لا ينكر فيما يختلف فيه و انما
ينكر فيما يجمع عليه
Tidak
diingkari hal yang diperdebatkan, hanya hal yang disepakati yang boleh
diingkari.
Demikian pula
bahwa perbedaan ini tidak menyangkut urusan akidah dimana siapa yang berbeda
dalam hal ini salah satu diantaranya dapat dihukumkan syirik, murtad keluar
dari Islam atau kafir. Syaikh Ibnu Taimiyah tidak pernah sampai mengkafirkan
dan menuduh dosa orang yang melakukannya. Sebagaimana yang dilakukan oleh
orang-orang yang mengaku-ngaku sepemahaman dengan beliau.
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz hanya berfatwa dengan redaksi kata: bertawasul
dengan kehormatan atau dengan berkah adalah bid’ah tapi tidak syirik.
KESIMPULAN
Dari pembahasan
tentang tawassul di atas dapat kita simpulkan bahwa:
1.
Tawassul
adalah membuat perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah.
2.
Tawassul
dapat berupa menyebut kebaikan dan kemuliaan sesuatu ketika berdoa kepada
Allah, bisa pula berupa memintakan doa kepada orang yang dianggap soleh dan
lebih diijabah doanya.
3.
Tawassul
yang disepakati kebolehannya adalah bertawassul dengan dzat Allah, dengan sifat
dan asma Allah, dengan amal soleh yang telah dilakukan, termasuk juga meminta
doa kepada Nabi dan orang soleh yang masih hidup.
4.
Tawassul
yang diperdebatkan adalah bertawassul dengan diri dan kemuliaan para Nabi
termasuk Nabi Muhammad, diri para wali dan orang soleh, dan termasuk minta
doakan kepada para nabi dan orang soleh yang sudah meninggal dunia.
5.
Perbedaan
pendapat dalam masalah tawassul adalah termasuk perbedaan pendapat dalam fikih
dan furu’ yang tidak dipermasalahkan, yaitu perbedaan dalam tata cara berdoa.
Perkara ini bukan termasuk dalam bidang akidah yang membuat salah satu
pelakunya benar dan salah. Dalam perbedaan fikih hanya berlaku prinsip
“rajih-marjuh” (kuat dan tidak kuat dalil). Kepada umat Islam dipersilakan
mengikuti pendapat yang mana saja yang ia yakini benar untuk diadopsi tanpa
perlu menyalahkan orang lain yang berbeda pendapat.
Wallahu a’lam bis showab
REFERENSI
Kamil, Umar Abdullah, Kalimah
Hadiah fi at Tawassul, Darul Mushthofa, Kairo, 2005
Al Mathr, Hammad bin Abdullah, Kumpulan
Tanya Jawab Bid’ah dalam Ibadah, Darul Falah, Jakarta 2005
Afifi, Tal’at Muhammad, Adab al
Ikhtilafat al Fiqhiyyah wa Atsaruhu fil Amal al Islamiy al Muashir¸ Darus
Salam, Kairo, 2005
Qaradawi, Yusuf, , Akidah Salaf dan
Khalaf, penerjemah Arif Munandar Riswanto, Pustaka Al Kautsar, Jakarta,
2006
Gom’a, Ali, Al-Bayan al-Qowim li
Tashhih Ba’dhil Mafahim, Darus Sundus, Kairo, 2006