Metodologi
pembahasan, kajian dan argumentasi para mutakallimin ketika bicara akidah berbeda
dengan metodologi Alquran, berbeda pula dengan para filosof, berbeda
pula dengan orang-orang yang datang sebelum dan sesudah mereka.
Alquran,
bangunan argumentasinya adalah: berpegang kepada pondasi kefitrahan manusia
bahwa manusia akan mengkuduskan sesuatu (naluri beragama), bahwa dunia ini
pasti ada penciptanya, kemudian memperkuat fitrah naluri itu dengan ayat-ayat
perintah kepada manusia agar mau melihat dan memperhatikan alam sekitar dari
segi kedahsyatan, keluarbiasaan, keteraturan hukum alam yang menimbulkan
keyakinan yang bahwa alam ini memang ada penciptanya. Kemudian pula untuk
pentauhidan Tuhan, alquran datang dengan ayat-ayat debat tentang rusaknya alam
dunia yang teratur tadi andaikan tuhan itu berbilang jumlahnya. Dan untuk
kekuasaan Tuhan, alquran datang kepada ayat-ayat yang menunjukkan kehebatan
ciptaa-Nya; penciptaan manusia dalam rahim, keteraturan peredaran bintang dan
planet di langit, penciptaan gunung, dst.
Artinya
bangunan argumen alquran ketika bicara akidah keimanan tidak menggunakan
alur berpikir logika (mantiq) sebagaimana para filosof dan mutakallimin, dimana
terdapat istilah premis mayor, premis minor dan konklusi/ kesimpulan, atau
istilah-istilah lain semisal aksiden, substansi dsb. Itu karena Alquran datang
tidak datang kepada para filosof atau orang pintar saja. Alquran hanya
berpegang kepada fitrah manusia yang memiliki nalur bertuhan dan memperkuatnya
dengan ayat-ayat kauniyah (alam). Andaikan alquran hanya bisa dipaham oleh
orang-orang pintar sekelas para filosof yang berpikir sistematis dan tepat,
niscaya sedikit sekali orang yang beriman.
Terhadap
ayat-ayat yang mutasyabihat yang mana itu memerlukan pembahasan lebih lanjut
oleh orang-orang yang pintar/ filosof, para ulama salaf menyarankan agar
mencukupkan diri (tawaqquf) pada mengimaninya tanpa mempertanyakannya, semisal
ayat-ayat mutasyabihat yang menyebutkan tangan, wajah Tuhan, arah posisi Tuhan,
Tuhan bersemayam di atas arsy Nya, dsb.
Adapun para
mutakallimin, dalam bangunan argumentasi keimanan dan akidahnya adalah dimulai
dari upaya melogikakan keimanan mereka. Pencarian kepada Tuhan, Tuhan itu satu
(tauhid), keesaan Tuhan, sifat-sifat Tuhan, semuanya menggunakan argumentasi
logika (mantiq) para filosof.
Bila untuk
perkara wujudnya Tuhan pencipta, Alquran hanya menggunakan bahasa dan redaksi
“apakah ada terdapat keraguan akan adanya pencipta langit dan bumi ini?” maka para mutakallimin memulainya
dengan memaparkan huduts (pernah tidak ada) nya alam dunia, kemudian
melogikakannya bahwa alam dunia itu saling membutuhkan satu bagian dengan
bagian yang lain, dan itu menunjukkan bahwa alam itu tidak ada dengan
sendirinya, kesimpulan akhirnya adalah bahwa alam dunia ini diciptakan oleh
penciptanya. Demikian pula dalam perkara keesaan Tuhan, dimana mereka akan
menggunakan logika mantiq dalam bangunan argumentasinya dikarenakan munculnya
perdebatan serta pertanyaan secara filsafat dan menjawabnya juga dengan cara
filsafat.
Kemudian
terkait masalah ayat-ayat alquran yang mutasyabihat, para mutakallimin berbeda
dengan para ulama salaf sholih yang mencukupkan diri pada beriman tanpa bertanya
bagaimananya. Para mutakallimin menggunakan ta’wil atas ayat-ayat mutasyabihat
tersebut. Ini karena argumentasi logika akan buntu bertemu dengan
pernyataan-pernyataan alquran seperti ini bila tanpa dilogikakan. Semisal
tangan Tuhan: apakah Tuhan punya tangan?, apakah tangannya seperti manusia?,
kalau iya berarti Tuhan tidak beda dengan manusia, tidak beda dengan alam dunia
yang pernah tidak ada, dst… ini oleh para mutakallimin ditakwilkan agar
kesimpulan logika pertama di awal-awal bahwa dunia ini baru/ huduts dan
memerlukan pencipta tidak berbenturan dengan logikan kedua dan seterusnya.
Kesimpulannya
bangunan argument para mutakallimin dalam hal ketuhanan dan akidah adalah
berpegang kepada dalil-dalil akal ditambah pula kepada takwil secara logika
atas ayat-ayat mutaasyabihat. Dan cara argumentasi seperti ini tidak akan
didapati pada era nabi dan masa-masa awal generasi islam.
Hal yang
menyebabkan para mutakallimin melalui jalan ini adalah interaksi awal mereka melalui
perdebatan sengit dengan para pemeluk agama yang lainnya seperti yahudi,
nasrani dan penyembah berhala, dimana akal-akal mereka terbiasa berfilsafat/
berlogika dalam akidah ketuhanan masing-masing. Disamping pula mereka (orang2
non muslim tadi) tidak akan bisa hanya dengan disampaikan ayat-ayat alquran
atau hadis nabawi, tapi harus dibawa kepada hal yang disepakati oleh semua
akal-akal mereka. Untuk itulah/ demi misi itulah para mutakallimin menggunakan
cara yang sama dengan para non muslim itu. para mutakallim menyusun buku-buku
dengan argumentasi logika akal untuk menunjukkan adanya Tuhan, benarnya adanya
risalah kenabian, kebenaran bahwa Muhammad adalah utusan Allah, kepada para
penolak adanya Tuhan (atheis), kepada para penolak adanya nabi (agnotis),
kepada para penolak kerisalahan Muhammad (non muslim).
Sebab kedua
kenapa para mutakallimin membangun argumentasi keimanan dan akidah dengan
logika filsafat, adalah karena sudah menjadi hal yang alami dalam sebuah bidang
(baik itu filsafat, ilmu pengetahuan, politik dan agama) terdapat dua kubu yang
berseberangan: satu kubu yang mempertahankan keaslian dan kemurnian, satu kubu
yang lain lebih liberal (bebas) melanggar batas yang tidak mau dilampaui oleh
para penjaga keaslian dan kemurnian.
Para penjaga
kemurnian (konservatif/ muhafizhin) dalam bidang agama mencukupkan diri
pada yang sudah digariskan oleh nash-nash agama mereka, akan berbicara hal yang
disinggung oleh nash agama dan tak berkomentar banyak dalam hal yang tidak
disinggung oleh nash agama. Adapun para berpikiran bebas (liberalis/ahraar)
tidak ingin hanya berhenti pada nash agama, tapi juga ingin menggunakan akal mereka
untuk memeperkuat nash agama tersebut bila masuk akal, atau untuk
mentakwilkannya bila secara zhahir tidak masuk akal. Pembagian ini (ada
konservatif dan liberal) terjadi pada bidang ushul / akidah juga terjadi pada
bidang furu’ syariat fikih dsb. Kita akan mengenal istilah ahlul hadits sebagai
representasi dari para konservatif juga akan mengenal istilah ahlur ro’yi
sebagai representasi dari para liberalis tadi.
Wallahu a’lam
bis showab.
Kesimpulan :
Metodologi
bangunan argumentasi para mutakallimin adalah (logika dan takwil).
No comments:
Post a Comment