Friday, December 26, 2014

Ilmu Kalam: Bangunan Argumentasi Para Mutakallimin



Metodologi pembahasan, kajian dan argumentasi para mutakallimin ketika bicara akidah berbeda dengan metodologi Alquran, berbeda pula dengan para filosof, berbeda pula dengan orang-orang yang datang sebelum dan sesudah mereka.

Alquran, bangunan argumentasinya adalah: berpegang kepada pondasi kefitrahan manusia bahwa manusia akan mengkuduskan sesuatu (naluri beragama), bahwa dunia ini pasti ada penciptanya, kemudian memperkuat fitrah naluri itu dengan ayat-ayat perintah kepada manusia agar mau melihat dan memperhatikan alam sekitar dari segi kedahsyatan, keluarbiasaan, keteraturan hukum alam yang menimbulkan keyakinan yang bahwa alam ini memang ada penciptanya. Kemudian pula untuk pentauhidan Tuhan, alquran datang dengan ayat-ayat debat tentang rusaknya alam dunia yang teratur tadi andaikan tuhan itu berbilang jumlahnya. Dan untuk kekuasaan Tuhan, alquran datang kepada ayat-ayat yang menunjukkan kehebatan ciptaa-Nya; penciptaan manusia dalam rahim, keteraturan peredaran bintang dan planet di langit, penciptaan gunung, dst.

Artinya bangunan argumen alquran ketika bicara akidah keimanan tidak menggunakan alur berpikir logika (mantiq) sebagaimana para filosof dan mutakallimin, dimana terdapat istilah premis mayor, premis minor dan konklusi/ kesimpulan, atau istilah-istilah lain semisal aksiden, substansi dsb. Itu karena Alquran datang tidak datang kepada para filosof atau orang pintar saja. Alquran hanya berpegang kepada fitrah manusia yang memiliki nalur bertuhan dan memperkuatnya dengan ayat-ayat kauniyah (alam). Andaikan alquran hanya bisa dipaham oleh orang-orang pintar sekelas para filosof yang berpikir sistematis dan tepat, niscaya sedikit sekali orang yang beriman.

Terhadap ayat-ayat yang mutasyabihat yang mana itu memerlukan pembahasan lebih lanjut oleh orang-orang yang pintar/ filosof, para ulama salaf menyarankan agar mencukupkan diri (tawaqquf) pada mengimaninya tanpa mempertanyakannya, semisal ayat-ayat mutasyabihat yang menyebutkan tangan, wajah Tuhan, arah posisi Tuhan, Tuhan bersemayam di atas arsy Nya, dsb.

Adapun para mutakallimin, dalam bangunan argumentasi keimanan dan akidahnya adalah dimulai dari upaya melogikakan keimanan mereka. Pencarian kepada Tuhan, Tuhan itu satu (tauhid), keesaan Tuhan, sifat-sifat Tuhan, semuanya menggunakan argumentasi logika (mantiq) para filosof.

Bila untuk perkara wujudnya Tuhan pencipta, Alquran hanya menggunakan bahasa dan redaksi “apakah ada terdapat keraguan akan adanya pencipta langit dan  bumi ini?” maka para mutakallimin memulainya dengan memaparkan huduts (pernah tidak ada) nya alam dunia, kemudian melogikakannya bahwa alam dunia itu saling membutuhkan satu bagian dengan bagian yang lain, dan itu menunjukkan bahwa alam itu tidak ada dengan sendirinya, kesimpulan akhirnya adalah bahwa alam dunia ini diciptakan oleh penciptanya. Demikian pula dalam perkara keesaan Tuhan, dimana mereka akan menggunakan logika mantiq dalam bangunan argumentasinya dikarenakan munculnya perdebatan serta pertanyaan secara filsafat dan menjawabnya juga dengan cara filsafat.

Kemudian terkait masalah ayat-ayat alquran yang mutasyabihat, para mutakallimin berbeda dengan para ulama salaf sholih yang mencukupkan diri pada beriman tanpa bertanya bagaimananya. Para mutakallimin menggunakan ta’wil atas ayat-ayat mutasyabihat tersebut. Ini karena argumentasi logika akan buntu bertemu dengan pernyataan-pernyataan alquran seperti ini bila tanpa dilogikakan. Semisal tangan Tuhan: apakah Tuhan punya tangan?, apakah tangannya seperti manusia?, kalau iya berarti Tuhan tidak beda dengan manusia, tidak beda dengan alam dunia yang pernah tidak ada, dst… ini oleh para mutakallimin ditakwilkan agar kesimpulan logika pertama di awal-awal bahwa dunia ini baru/ huduts dan memerlukan pencipta tidak berbenturan dengan logikan kedua dan seterusnya.

Kesimpulannya bangunan argument para mutakallimin dalam hal ketuhanan dan akidah adalah berpegang kepada dalil-dalil akal ditambah pula kepada takwil secara logika atas ayat-ayat mutaasyabihat. Dan cara argumentasi seperti ini tidak akan didapati pada era nabi dan masa-masa awal generasi islam.

Hal yang menyebabkan para mutakallimin melalui jalan ini adalah interaksi awal mereka melalui perdebatan sengit dengan para pemeluk agama yang lainnya seperti yahudi, nasrani dan penyembah berhala, dimana akal-akal mereka terbiasa berfilsafat/ berlogika dalam akidah ketuhanan masing-masing. Disamping pula mereka (orang2 non muslim tadi) tidak akan bisa hanya dengan disampaikan ayat-ayat alquran atau hadis nabawi, tapi harus dibawa kepada hal yang disepakati oleh semua akal-akal mereka. Untuk itulah/ demi misi itulah para mutakallimin menggunakan cara yang sama dengan para non muslim itu. para mutakallim menyusun buku-buku dengan argumentasi logika akal untuk menunjukkan adanya Tuhan, benarnya adanya risalah kenabian, kebenaran bahwa Muhammad adalah utusan Allah, kepada para penolak adanya Tuhan (atheis), kepada para penolak adanya nabi (agnotis), kepada para penolak kerisalahan Muhammad (non muslim).

Sebab kedua kenapa para mutakallimin membangun argumentasi keimanan dan akidah dengan logika filsafat, adalah karena sudah menjadi hal yang alami dalam sebuah bidang (baik itu filsafat, ilmu pengetahuan, politik dan agama) terdapat dua kubu yang berseberangan: satu kubu yang mempertahankan keaslian dan kemurnian, satu kubu yang lain lebih liberal (bebas) melanggar batas yang tidak mau dilampaui oleh para penjaga keaslian dan kemurnian.

Para penjaga kemurnian (konservatif/ muhafizhin) dalam bidang agama mencukupkan diri pada yang sudah digariskan oleh nash-nash agama mereka, akan berbicara hal yang disinggung oleh nash agama dan tak berkomentar banyak dalam hal yang tidak disinggung oleh nash agama. Adapun para berpikiran bebas (liberalis/ahraar) tidak ingin hanya berhenti pada nash agama, tapi juga ingin menggunakan akal mereka untuk memeperkuat nash agama tersebut bila masuk akal, atau untuk mentakwilkannya bila secara zhahir tidak masuk akal. Pembagian ini (ada konservatif dan liberal) terjadi pada bidang ushul / akidah juga terjadi pada bidang furu’ syariat fikih dsb. Kita akan mengenal istilah ahlul hadits sebagai representasi dari para konservatif juga akan mengenal istilah ahlur ro’yi sebagai representasi dari para liberalis tadi. 

Wallahu a’lam bis showab.




Kesimpulan :
Metodologi bangunan argumentasi para mutakallimin adalah (logika dan takwil).

No comments:

Post a Comment