Friday, December 26, 2014

Makalah Studi Bahasa Arab: Fatwa tentang Tawassul



PENDAHULUAN
Teks Arab
السؤال:
ما حكم التوسل بـجاه النبي محمد صلى الله عليه و سلم؟
الجواب:
التوسل بـجاه النبي صلى الله عليه و سلم جائز في مذهبنا و مذهب جمهور اهل العلم من الحنفية و المالكية و الحنابلة في المعتـمد من كـتبهم و ذلك أن مقام النبي صلى الله عليه وسلم العظيم ومنزلته الرفيعة عند الله عز وجل ثابتة في الكتاب والسنة، ومن توسل بأمر ثابت فلا حرج عليه لعموم قوله عز وجل: (وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ) المائدة/35، خاصة وقد ورد في ذلك حديث خاص، وهو حديث عثمان بن حنيف رضي الله عنه حين علمه النبي صلى الله عليه وسلم هذا الدعاء: (اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ) رواه الترمذي (رقم/3578) وقال: حسن صحيح
يقول الامام النووي رخمه الله في معرض حديثه عن اداب زيارة قبر النبي صلى الله عليه و سلم ثم يرجع الى موقفه الاول قبالة وجه رسول الله صلى الله عليه وسلم فيتوسل به في حق نفسه و يتشفع به الى ربه سبحانه و تعالى. انتهى   الاذكار
ويقول الكمال ابن الهمام رحمه الله: "يسأل الله تعالى حاجته متوسلا إلى الله بحضرة نبيه عليه الصلاة والسلام" انتهى. فتح القدير (3 : 181)
وفي "حاشية العدوي" (1/5): "وجعلنا من المتَّبعين له في أقواله وأفعاله، بمحمد وآله وصحبه وعترته آمين" انتهى.
ويقول البهوتي رحمه الله: "ولا بأس بالتوسل بالصالحين، ونصه - يعني الإمام أحمد - في منسكه الذي كتبه للمروذي أنه يتوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم في دعائه، وجزم به في المستوعب وغيره" انتهى. "كشاف القناع" (2/73)
وعلى كل حال: فالمسألة من مسائل الفروع التي لا يجوز الإنكار فيها وإحداث الشقاق والنزاع، وهذا ابن تيمية رحمه الله وهو من القائلين بمنع التوسل بالجاه- يقول: "وإن كان في العلماء مَن سوغه، فقد ثبت عن غير واحد من العلماء أنه نهى عنه، فتكون مسألة نزاع، فيُرد ما تنازعوا فيه إلى الله ورسوله، ويُبدي كل واحد حجته كما في سائر مسائل النزاع، وليس هذا من مسائل العقوبات بإجماع المسلمين، بل المعاقب على ذلك معتد جاهل ظالم . انتهى. "مجموع الفتاوى (1: 285-286)
والله أعلم
Terjemahan Teks
Pertanyaan:
Apa hukum bertawassul dengan kemuliaan Nabi Muhammad SAW?
Jawaban:
Bertawassul dengan kemuliaan Nabi Muhammad SAW hukumnya boleh dalam madzhab kami dan madzhab para ahlul ilmi baik itu Madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah dan itu termaktub dalam buku-buku mereka sebagai pendapat yang lebih rajih bagi mereka. Itu karena maqom atau kedudukan Nabi Muhammad SAW yang besar dan kedudukan beliau disisi Allah yang tinggi sudah tsubut termaktub dalam Alquran dan Alhadits. Barangsiapa yang bertawassul dengan sesuatu yang sudah tetap maka tidak ada dosa melakukannya. Dalilnya keumumuman firman Allah yang berbunyi:
يا ايها الذين امنوا اِتَّقُوْا اللهَ وَابْتَغُوْا اِلَيْهِ الوَسِيْلَةَ وَ جَاهِدُوا فِي سَبِيْلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْن
Wahai orang orang beriman bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepadanya, dan berjihadlah di jalan Allah agar kamu mendapat keberuntungan. (Al-Maidah ayat 35)
Ditambah lagi dengan hadits nabi yang lebih spesifik menyinggung hal ini. Yaitu hadits riwayat Utsman bin Hanif ra bahwa beliau diajari oleh Nabi doa sebagai berikut:
اللهم اِنِّيْ اَسْأَلُكَ وَ اَتَوَجَّهُ اِلَيْكَ بِنِبِيِّكَ مُحَمّدٍ نَبِيِّ الرَحْمَة
Ya Allah hamba memohon kepadamu dan hamba menghadap Mu dengan diri nabi Mu, Nabi Muhammad SAW, sang nabi kasih sayang. Hadits riwayat Turmudzi no 3578 dengan derajat hadits hasan shohih.
Imam Nawawi berkomentar ketika menjelaskan hadits tentang adab berziyarah ke kubur Nabi Muhammad SAW:  
“… kemudian kembali ke tempat berdirinya yang pertama dan menghadap ke wajah rasulullah SAW lalu ia bertawassul  dengan diri nabi dalam urusannya, meminta syafaat[1] (bantuan) kepada Allah dengan diri Nabi Muhammad. (Al adzkar)
Kammal bin Hammam ra berkata: ia memohonkan hajat permintaannya kepada Allah dengan melewat tawassul (meminta tengahi) dengan diri nabi Muhammad SAW. (Fathul qodir 1/ 181)
Terdapat dalam buku yang berjudul Hasyiyah al-Adwiy disebutkan: dan semoga Allah menjadikan kita termasuk dalam pengikut Nabi Muhammad dalam perkataan dan perbuatannya dengan berkah diri Nabi Muhammad sahabatnya dan keturunannya. Amin.
Al-Bahuti berkata: tidak mengapa bertawassul (meminta tengahi) dengan orang-orang soleh. Imam Ahmad menuliskannya dalam bukunya yang ditulis buat al marwadzi bahwa beliau (imam ahmad) bertawassul dengan diri nabi dalam doanya. Beliau tegaskan kembali hal itu dalam bukunya yang berjudul Mustaw’ib dan selainnya. (Kassyaful Qina’)
Ala kulli hal, yang pasti permasalahan ini adalah termasuk dari permasalahan furu’ dimana tidak dibolehkan bagi seorang pun untuk mengingkari perkara furu’ yang memang diperselisihkan sehingga memunculkan perpecahan dan perdebatan.
Syaikh Ibnu Taimiyah adalah salah seorang ulama yang tidak sependapat dengan kebolehan bertawassul dengan diri nabi. Beliau berkata: Meskipun di antara para ulama itu terdapat orang yang membolehkannya, yang pasti bahwa tak ada satu pun yang melarang hal itu. Sehingga jadilah masalah tawassul ini permasalahan yang diperdebatkan. Maka hendaklah apa yang didebatkan dikembalikan kepada Allah dan rasul-Nya, dimana masing-masing orang yang berdebat dipersilakan menyampaikan dalil dan argumennya masing-masing. Demikian pula dalam seluruh seluruh perkara yang diperselisihkan. Dan perkara ini menurut kesepakatan kaum muslimin bukanlah termasuk perkara penghakiman benar salah. Bahkan barangsiapa yang menghakimi atas perkara ini maka ia adalah orang yang melampaui batas, bodoh lagi zalim. (Majmu’ Fatawa 1/ 285-286). Wallahu a’lam

  

PEMBAHASAN
Ulasan Terhadap Teks:
Bismillahirrohmanirrohim.
Teks fatwa terdapat dalam website: www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=3851 yang merupakan web resmi milik dewan fatwa negara Yordania.
Halaman fatwa dimulai dengan menyebutkan sebuah list yang berisi nama pemberi fatwa yaitu Dewan Fatwa Yordania dengan rujukan mufti umum Syaikh Abdul Karim al-Khoshowanah, kemudian disebutkan judul fatwa, nomor fatwa, tanggal dikeluarkan fatwa, dan jenis dari fatwa tersebut. Setelah daftar di atas, dilanjutkan dengan teks fatwa yang dimaksud. Dimana dimulai dengan sebuah pertanyaan yang ditandai dengan kata as-sual (pertanyaan).
Dalam kalimat pertanyaan penanya hanya menggunakan bahasa yang sangat singkat. “Apakah hukum bertawassul kepada diri kehormatan Nabi Muhammad SAW?” tidak diawali oleh kalimat pembuka seperti salam dan hamdalah atau sholawat, atau semacam cerita pendahuluan. Barangkali sudah dipersingkat agar lebih efesien. 
Paragraf selanjutnya adalah jawaban atau fatwa atas pertanyaan yang diberikan. Ditandai dengan al-jawab di bagian atas. Setelah menyebut hamdalah dan salawat nabi, kalimat-kalimat awal langsung menyebutkan hukum bertawassul dengan Nabi Muhammad SAW adalah boleh dilakukan. Kemudian menyebutkan beberapa madzhab fikih yang mengatakan senada dengan hal itu. dengan argumen bahwa kedudukan Nabi Muhammad SAW di sisi Allah adalah tinggi dan besar, dan itu ditetapkan oleh Alquran dan Assunnah. Barangsiapa yang bertawassul dengan sesuatu yang telah ditetapkan oleh Alquran dan Assunnah maka tidak ada dosa untuk melakukannya. Firman Allah dalam surah Al-Maidah ayat 35 dijadikan dalil sekalipun ayat tersebut bicara wasilah (perantara) hanya secara umum. Ditambah dengan hadits Nabi Muhammad riwayat Imam Turmudzi yang menceritakan seorang Sahabat Nabi diajarkan oleh Nabi Muhammad sebuah doa yang redaksinya secara khusus mengajarkan tawassul dengan diri Nabi Muhammad SAW.
Paragraf-paragraf selanjutnya adalah pendapat-pendapat para ulama yang membolehkan bertawassul dengan diri Nabi Muhammad SAW. Diantaranya Imam Nawawi rahimahullah dari madzhab Syafi’i yang terdapat dalam bukunya yang terkenal Al-Adzkar. Kemudian ada pendapat Kammal bin Hammam yang dikutip dari bukunya Fathul Qodir.
Lebih jauh Al-Bahuti menyebutkan kebolehan bertawassul ini tidak hanya kepada diri Nabi Muhammad tapi juga kepada orang-orang soleh secara umum. Dikuatkan dengan cerita Imam Ahmad yang terbiasa bertawassul kepada Nabi Muhammad di setiap doanya.  
Di paragraf terakhir disebutkan kesimpulan fatwa bahwa perkara bertawassul kepada diri Nabi Muhammad SAW adalah perkara yang diperselisihkan para ulama. Ada yang membolehkan ada pula yang tidak membolehkan. Salah satu yang tidak membolehkan adalah Syaikh Ibnu Taimiyah rahimahullah. Meski demikian beliau mengatakan bahwa perkara seperti ini tidak ada yang berhak menghakimi benar salah. Sehingga siapa yang berani melakukannya maka ia termasuk orang yang melampaui batas, bodoh dan zalim. Wallahu a’lam.
Tambahan Ulasan Teks
Pengertian Tawassul
Kata tawassul diambil dari kata wasilah yang artinya secara bahasa antara lain:
1.      Kedudukan di sisi raja
2.      Kedudukan
3.      Mendekatkan diri
4.      Perantara
Arti tawassul adalah menggunakan wasilah/ perantara untuk mencapai sesuatu. Oleh para pelakunya tawassul dimaksudkan untuk menggapai ridho dan ganjaran yang diinginkan oleh setiap orang yang beriman kepada Allah. Tawassul/ membuat perantara adalah disyariatkan sebagaimana firman Allah surah Al-Maidah ayat 35:
يا ايها الذين امنوا اِتَّقُوْا اللهَ وَابْتَغُوْا اِلَيْهِ الوَسِيْلَةَ وَ جَاهِدُوا فِي سَبِيْلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْن
Wahai orang orang beriman bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepadanya, dan berjihadlah di jalan Allah agar kamu mendapat keberuntungan.
Bila disebut kata-kata: “Ia bertawassul kepadanya dengan sesuatu” itu artinya ia mendekatkan diri dengan sebuah wasilah (perantara). Wasilah adalah semua yang dijadikan sebab dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah. Wasilah itu sendiri mestilah memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah. Betawassul bisa disederhanakan menjadi menyebut-nyebut sesuatu kebaikan dan kemuliaan di sisi Allah demi untuk mengaharap mendapatkan perhatian dan terkabulnya doa.

Macam-Macam Tawassul dan Pro Kontra Mengenainya
Setidaknya kita dapat paparkan di sini beberapa macam tawassul berikut pandangan ulama tentangnya.
1.      Tawassul dengan dzat Allah swt; seperti ucapan seseorang ketika berdoa: Ya Allah dengan dzat Mu yang mulia, kabulkanlah hajatku.
2.      Tawassul dengan asma dan nama Allah swt; seperti ucapan seseorang ketika berdoa: Ya Allah Engkau yang Maha Kasih Sayang, Engkau Maha Pengampun, ampunilah kami, kasih sayangilah kami, dan kabulkanlah hajat kami.
3.      Tawassul dengan amal soleh; seperti ucapan seseorang ketika berdoa: Ya Allah hamba pernah bersedekah dengan harta yang banyak dan itu hamba lakukan dengan ikhlas hanya mengharap ridho Mu, karena itulah hamba mohon agar Engkau berkenan mengabulkan hajat permintaan kami.
4.      Tawassul dengan diri nabi, wali atau orang soleh; seperti ucapan seseorang ketika berdoa: Ya Allah, demi Nabi Mu yang mulia, dengan berkah dan kemuliaan si fulan di sisi Mu, kabulkanlah hajat kami. Atau bisa pula macam tawassul yang keempat ini diartikan memohon doakan kepada nabi dan orang soleh.
Untuk macam tawassul untuk nomor 1, 2 dan 3 maka oleh ulama dikategorikan sebagai tawassul yang tidak terdapat perbedan pendapat ulama di dalamnya, terkait kebolehan melakukannya. Tak ada satu pun ulama yang mengingkari kebolehan bertawassul dengan tiga cara pertama ini.
Dalilnya:
وَ للهِ الأَسْـمَـاءُ الْحُـسْـنَـى فَـادْعُـوْهُ بِـهَـا
Hanya milik Allah lah asma’ul husnaa, mohonlah kepadaNya dengan menyebut asmaul husna itu (Surah Al-A’rof ayat 180)
Juga hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ahmad, Nasai, dan lain-lain; dari Salman,
“Ya Allah, dengan ilmu Mu terhadap perkara gaib dan dngan kekuasan Mu untuk menciptakan, hidupkanlah aku jika Engkau megnetghaui bahwa hidup adalah lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika Engkau mengetahui bahwa mati adalah lebih baik bagiku.”
Kemudian diantara dalil tentang kebolehan bertawassul dengan amal soleh adalah surah Ali Imron ayat 53 dimana Allah swt berfirman:
رَبَّنَا اَمَنَّا بِمَا اَنْزَلْتَ وَ اتَّبَعْنَا الرَّسُوْلَ فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِيْنَ
Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan, dan kami telah mengikuti Rasul, karena itu masukanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah).
Juga hadits yang sangat masyhur tentang tiga orang soleh yang terkubur dalam gua runtuh:
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar dia berkata: bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda. Ada tiga orang sebelum kalian yang sedang berjalan. Tiba-tiba mereka terkena hujan dan berlindung ke sebuah goa. Tetapi mereka terkunci. Lalu seseorang berkata kepada yang lain: Demi Allah tidak ada yang menyelamatkan kalian kecuali dengan apa yang telah kalian sedekahkan. Hendaklah seorang dari kalian berdoa dengan hal yang telah disedekahkannya. Lalu salah seorang mereka berkata; Ya Allah Engkau mengetahui bahwa aku mempunyai seorang pekerja yang bekerja untukku dengan upah satu faraq beras. Lalu dia pergi dan meninggalkan beras tersebut. Ketika itu, aku  mengambill faraq tersebut dan menanamnya untuk membeli seekor sapi. Lalu orang tersebut datang kepadaku meminta upahya. Aku berkata; ambillah sapi tersebut. Dia berkata kepadaku: aku memiliki satu faraq beras padamu. Aku berkata lagi; ambilah sapi tesebut karena ia adalah faraq tersebut. Kemudian dibawanya lah sapi itu. Jika Engkau mengetahui bahwa aku melakukan hal itu semata takut kepada Mu bebaskanlah kami dari bencana ini. Lalu batu yang menutup gua pun mulai tebuka.
Lelaki yang lain berkata: Ya Allah Engaku mengetahui bahwa saya mempunyai dua orangtua yang sudah sangat tua. Setiap malam saya memberi mereka susu dari kambing milik saya. Pada sautu malam saya datang terlambat. Ketika tiba di rumah mereka berdua sudah tidur sedangkan keluargaku menangis karena rasa lapar. Aku tidak memberi minum keluargaku kecuali setelah kedua orangtuaku minum terlebih dahulu. Namun aku tidak nign membangungkan mereka lalu kami diam hingga mereka minum. Aku pun menunggu hingga terbit fajar. Jika Engkau mengetahui aku melakukan hal itu karena aku takut kepada Mu bebaskanlah kami dari bencana ini. Lalu batu pun tebuka hingga mereka bisa melihat langit.
Lelaki yang terakhir berkata: Ya Allah Engaku mengetahui bahwa pamanku mempunyai seorang anak perempuan yang sangat aku cintai. Aku pernah mgngodanya tetapi dia menolak kecuali jika aku mmberinya seratus dinar. Lalu aku mencarinya hingga mampu. Aku pun mendantangi anak pamanku dengan uang itu dan memberikannya kepadanya. Dia pun lalu memberikan dirinya kepadaku. Ketika aku hendak menggaulinya dia berkata: Bertawaklah kepada Allah. Jangan memecahkan cincin keacuali dengan haknya. Lalu aku pun berdiri dan meninggalkan seratus dinar itu. Jika engkau mengatahui aku melaukan hal itu karena semata takut kepada Mu, bebaskan kami dari bencana ini. Lalu batu pun terbuka keseluruhan hingga mereka bertiga bisa keluar dari gua tersebut.
Adapun untuk macam tawassul yang keempat; yaitu bertawassul dengan diri para nabi dan para orang soleh, maka para ulama baik salaf maupun khalaf berbeda pendapat. Perbedaan pendapat yang mendasar adalah antara yang membolehkan dan yang tidak membolehkan. Kemudian terdapat lagi perbedaan di antara mereka yang menghukumkan kebolehan tawassul seperti ini.
Ada ulama yang membolehkan tawassul kepada diri Nabi atau kepada diri para orang soleh. Ada ulama yang hanya membolehkan bertawassul atas diri Nabi saja, tidak selain nabi. Ada ulama yang membolehkan bila maksud tawassul di sini minta doakan kepada diri nabi atau orang soleh (itu pun hanya ketika nabi dan orang soleh tersebut masih hidup. Bila sudah meninggal maka tidak boleh). Ada pula yang membolehkan baik itu selama mereka hidup ataupun setelah mereka telah tiada. Mereka beranggapan kebolehan memintakan doa tidak dibatasi oleh waktu hanya ketika Nabi Muhammad masih hidup tapi juga setelah beliau wafat. Itu karena sejatinya para Nabi tidaklah meninggal di dalam kuburnya.
Dalil-dalil Mereka yang Berpendapat Boleh
Adapun para ulama yang berpendapat tentang bolehnya tawassul dengan diri Nabi dan orang soleh; baik itu dalam bentuk minta doakan kepada mereka, atau sekedar menyebutkan nama dan kebesaran mereka di sisi Allah ketika berdoa; menjadikan keumuman wasilah/ perantara yang disinggung oleh surah Al-Maidah ayat 35 di atas sebagai dalilnya. Mereka memandang bahwa bertawassul kepada diri para nabi, termasuk nabi Muhammad juga kepada para orang-orang soleh, dilakukan semata karena memandang mereka-mereka itu adalah hamba-hamba yang dimuliakan oleh Allah, mereka juga diberi keistimewaan dengan diizinkan memberikan syafaat (bantuan) kepada siapa saja dengan izin Allah. Hal ini adalah perkara yang disepakati oleh umat ini.
Juga kemudian bahwa Rasulullah sendiri mengajarkan bertawassul dengan dirinya. Tersebut dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani, dari Anas bin Malik beliau berkata:
Manakala Fatimah bintu Asad ibunda Ali bin Abi Thalib meninggal dunia, Rasulullah datang …… tatkala sudah selesai penguburannya, Rasulullah mendekat ke kuburnya dan membaca : “Wahai Allah yang menghidupkan dan mematikan. Yang hidup tak akan mati. Ampunilah bagi ibuku Fatimah binti Asad dan bimbinglah hujjahnya, luaskanlah baginya jalan masuknya, dengan diri Nabimu dan para nabi yang diutus sebelumku. Sungguhnya Engkau amat sangat kasih sayang”. Al Kabir 24/ 351           
Untuk tawassul dengan makna meminta doakan kepada orang soleh, baik itu para nabi dan para wali maka sesungguhnya mereka percaya bahwa orang-orang tersebut memiliki kedudukan yang khusus di sisi Allah[2]. meminta doakan kepada orang lain sangat diharap doanya lebih mudah dikabulkan oleh Allah terlebih bila bila orang yang kita minta doakan itu adalah orang takwa dan orang soleh[3].
Dalil yang diikemukakan adalah apa yang dilakukan oleh seorang buta yang datang kepada Nabi Muhammad dan memintakan doa agar Allah menyembuhkan penglihatannya dalam hadits riwayat Ahmad dari Utsman bin Hanif. Bahwa seseorang laki laki yang matanya buta mendatangi Nabi Muhammad. Dia berkata: berdoalah kepada Allah agar Dia menyembuhkanku. Beliau menjawab: jika mau aku mendokan kamu. Jika mau aku akhirkan itu. Dan itu lebih baik. (Dalam redaksi hadits lain: jika kamu bersabar itu adalah lebih baik bagimu) . Dia berkata: Berdoalah kepada Alah. Lalu Nabi pun memerintahkannya unttuk berwudhu lalu dia pun berwudhu dengan baik dan kemudian salat dua rakaat. Nabi Muhammad kemudian mengajarkan orang itu berdoa seperti ini: Ya Allah Sungguhnya Aku memintamu dengan aku menghadapankan diriku kepada Mu dengan diri Nabi Mu Muhammad sang Nabi kasih sayang. Wahai Muhammad sungguhnya aku bertawaajjuh denganmu kepada Tuhanku dalam urusanku ini agar engkau kabulkan bagiku. Ya Allah berilah izin beliau memberi syafaat padaku.[4] Utsman bin Hanif kemudian mengatakan bahwa orang tersebut kemudian sembuh matanya. Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad yang shahih dan para rawinya yang kuat. Demikian pula dishahihkan oleh Turmudzi dan Hakim. Bahkan Syaikh Albaniy yang termasuk dari ulama yang tidak membolehkan bertawassul, mengatakan bahwa hadits ini shahih[5].

Dalil-dali Mereka yang Berpendapat Tidak Boleh
Para ulama yang mengatakan bahwa bertawassul dengan diri Nabi, dzatnya atau kehormatannya, juga diri orang-orang soleh, maka hal itu tidak dibenarkan dilakukan. Pertama alasannya bahwa hal itu tidaklah diperintahkan oleh Allah dan dicontohkan oleh Rasulullah.
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ اَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa mengerjakan apa saja perkara yang tidak perintah dari kami maka tertolak. (HR Muslim)
Mereka juga berpendapat bahwa bentuk bertawassul dengan diri para Nabi dan orang soleh ini bisa membawa pelakunya kepada pintu kesyirikan. Dimana hati manusia dianggap akan mudah tergelincir kepada memahami permintaan doanya itu ditujukan kepada orang yang mereka sebutkan itu. dan mencegah hal itu amatlah baik.
Hal ini dibantah oleh ulama yang berpendapat sebaliknya. Mereka menjawab bahwa arti awal dari bertawassul dengan nabi dan orang soleh maksudnya: orang yang berdoa meminta keapda Allah sambil menyebut kehormatan seseorang di sisi Allah dan keberkahannya; menjadikan nabi sebagai perantara agar Allah mau mengabulkan doanya, juga meminta bantuan kepada Nabi agar mendoakannya. Nabi berhak mendoakan dan lebih pantas dipintai bantuan agar mendoakan. Meminta doakan kepada orang lain adalah lebih diharap terkabulnya. Terlebih bila itu adalah orang yang lebih soleh dari kita. Meminta kepada nabi pun bukan berarti meminta kepada diri nabi yang akan mengabulkannya, melainkan meminta kepada Allah dengan berkah diri Nabi. Niat itu yang menentukan amal. Perkara syirik tidak syirik itu dalam keyakinan hati. Siapakah yang tahu dengan isi hati?
Dari kesemua ini tidak ada satu pun yang menyatakan bahwa bertawassul adalah bentuk dari meminta kepada selain Allah. Karena bila dilihat dari redaksi dalil-dalil yang dikemukakan, tak ada satu pun yang mengatakan dengan kata-kata: kabulkan doa kami wahai nabi, kabulkan wahai orang soleh dan seterusnya. Karena bila kita meminta kepada selain Allah atau meminta penyelesaian urusan kepada orang yang sudah meninggal, maka sudah jelas kita telah jatuh kepada yang namanya syirik, menduakan Allah dalam hal meminta, dapat membuat pelakunya keluar dari agama, demikian fatwa Syaikh Shalih bin Fauzan[6]. Padahal kepadanya kiat menyembah dan kepadanya kita meminta. Karena itulah di antara ulama yang tidak membolehkan tawassul dengan diri nabi ini, hanya berfatwa sebatas kebid’ahannya dan hukumnya haram, tanpa menyebutnya itu sebagai kesyirikan dimana pelakunya bisa dituduh telah keluar dari agama Islam karena telah menyekutukan Allah.
Di antara ulama-ulama yang berpendapat tentang tidak bolehnya bertawassul dengan diri nabi dan orang soleh adalah Syaikh Ibnu Taimiyah, Syaikh Yusuf Qaradawi, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Syaikh Albaniy. Sementara Imam Ahmad dan juga pendapat Izzuddin bin Abdissalam (dari madzhab Hanafi) hanya membolehkan tawassul kepada diri Nabi Muhammad saja, tidak selainnya. Para Ulama ini berargumen bahwa dalil-dalil yang digunakan untuk menguatkan kebolehan bertawassul dengan diri seseorang, tidak sekuat dalil yang membolehkan bertawassul dengan tiga hal yang disepakati para ulama dan telah dijelaskan di atas. Argumen seperti ini dibenarkan karena salah satu faktor terjadinya perbedaan pendapat dalam masalah fikih adalah penerimaan terhadap dalil hadits dari segi shahih tidak shahih, atau dari segi pemahaman yang berbeda atas nash dalil yang diberikan, atau bahwa dalil itu pemahamannya tidak seperti itu[7].
Meskipun demikian tak ada satu pun dari ulama ini yang melampaui batas dalam perkara furu’. Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri mengatakan dalam Majmu’ Fatawa-nya sebagaimana dikutip oleh Syaikh Qaradawi: “kita tidak mengingkari orang yang melakukannya”. Hasan Al-Banna mengatakan bahwa perkara tawassul dengan diri nabi dan orang soleh adalah termasuk dari permasalahan fikih yaitu perbedaan dalam hal tata cara berdoa dan tidak termasuk dalam perkara akidah[8]. Maksudnya dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam permasalahan fikih berlaku kaidah:
لا ينكر فيما يختلف فيه و انما ينكر فيما يجمع عليه
Tidak diingkari hal yang diperdebatkan, hanya hal yang disepakati yang boleh diingkari.
Demikian pula bahwa perbedaan ini tidak menyangkut urusan akidah dimana siapa yang berbeda dalam hal ini salah satu diantaranya dapat dihukumkan syirik, murtad keluar dari Islam atau kafir. Syaikh Ibnu Taimiyah tidak pernah sampai mengkafirkan dan menuduh dosa orang yang melakukannya. Sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang mengaku-ngaku sepemahaman dengan beliau[9]. Syaikh Abdul Aziz bin Baaz hanya berfatwa dengan redaksi kata: bertawasul dengan kehormatan atau dengan berkah adalah bid’ah tapi tidak syirik[10].

KESIMPULAN
Dari pembahasan tentang tawassul di atas dapat kita simpulkan bahwa:
1.      Tawassul adalah membuat perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah.
2.      Tawassul dapat berupa menyebut kebaikan dan kemuliaan sesuatu ketika berdoa kepada Allah, bisa pula berupa memintakan doa kepada orang yang dianggap soleh dan lebih diijabah doanya.
3.      Tawassul yang disepakati kebolehannya adalah bertawassul dengan dzat Allah, dengan sifat dan asma Allah, dengan amal soleh yang telah dilakukan, termasuk juga meminta doa kepada Nabi dan orang soleh yang masih hidup.
4.      Tawassul yang diperdebatkan adalah bertawassul dengan diri dan kemuliaan para Nabi termasuk Nabi Muhammad, diri para wali dan orang soleh, dan termasuk minta doakan kepada para nabi dan orang soleh yang sudah meninggal dunia.
5.      Perbedaan pendapat dalam masalah tawassul adalah termasuk perbedaan pendapat dalam fikih dan furu’ yang tidak dipermasalahkan, yaitu perbedaan dalam tata cara berdoa. Perkara ini bukan termasuk dalam bidang akidah yang membuat salah satu pelakunya benar dan salah. Dalam perbedaan fikih hanya berlaku prinsip “rajih-marjuh” (kuat dan tidak kuat dalil). Kepada umat Islam dipersilakan mengikuti pendapat yang mana saja yang ia yakini benar untuk diadopsi tanpa perlu menyalahkan orang lain yang berbeda pendapat.
Wallahu a’lam bis showab




REFERENSI
Kamil, Umar Abdullah, Kalimah Hadiah fi at Tawassul, Darul Mushthofa, Kairo, 2005
Al Mathr, Hammad bin Abdullah, Kumpulan Tanya Jawab Bid’ah dalam Ibadah, Darul Falah, Jakarta 2005
Afifi, Tal’at Muhammad, Adab al Ikhtilafat al Fiqhiyyah wa Atsaruhu fil Amal al Islamiy al Muashir¸ Darus Salam, Kairo, 2005
Qaradawi, Yusuf, , Akidah Salaf dan Khalaf, penerjemah Arif Munandar Riswanto, Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 2006
Gom’a, Ali, Al-Bayan al-Qowim li Tashhih Ba’dhil Mafahim, Darus Sundus, Kairo, 2006



[1] Tasyaffa’a meminta tengahi antara dirinya dan Allah.
[2] Umar Abdullah Kamil, Kalimah Hadiah fi at Tawassul, cetakan 1 (Kairo, Darul Mushthofa, 2005), h. 8
[3] Umar Abdullah Kamil, Kalimah … h. 19
[4] Redaksi doanya sebagai berikut:
اللهم اني اسألك و اتوجه اليك بيبيك محمد نبي الرحمة. يا محمد اني توجهت بك الى ربي في حاجتي هذه لتقضي لي. اللهم فشفعه في.
[5] Ali Gom’a, al-Bayan al-Qowim li Tashhih Ba’dhil Mafahim, cetakan 1 (Kairo, Darus Sundus, 2006), h. 42
[6] Hammad bin Abdullah al Mathr, Kumpulan Tanya Jawab Bid’ah dalam Ibadah, cetakan 1 (Jakarta, Darul Falah, 2005) h. 213
[7] Tal’at Muhammad Afifi, Adab al Ikhtilafat al Fiqhiyyah wa Atsaruhu fil Amal al Islamiy al Muashir¸ cetakan 1 (Kairo, Darus Salam, 2005), h. 15
[8] Yusuf Qaradawi, Akidah Salaf dan Khalaf, penerjemah Arif Munandar Riswanto, cetakan 1 (Jakarta, Pustaka Al Kautsar, 2006) h. 333
[9] Yusuf Qaradawi, Akidah ….  h. 334 
[10] Hammad bin Abdullah al Mathr, Kumpulan h. 213

No comments:

Post a Comment