Friday, December 26, 2014

Makalah Sejarah Peradaban Islam: Dinasti Umayyah dibawah kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Soekarno berkata: jangan sekali-kali melupakan sejarah (jas merah). Perkataan ini mungkin benar adanya karena sejarah memiliki dan menceritakan fakta menarik yang bisa diambil hikmah pelajaran dari peristiwa peristiwa yang ada di dalamnya, sehingga bisa kita jadikan pedoman dalam menjalani kehidupan dunia selanjutnya. Pelajaran yang baik kita tiru, yang buruk dan kelam kita tinggalkan agar tidak terjatuh pada kesalahan yang sama yang diperbuat oleh orang-orang terdahulu. 
Sejarah perkembangan Islam adalah salah satu sejarah yang tak boleh dilewatkan. Apalagi oleh orang Islam secara umum tak terkecuali bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Dengan kajian sejarah peradaban Islam kita dapat mengetahui perkembangan Islam sebagai sebuah agama dan sebuah sistem hidup secara lebih detail dan mendalam dari masa ke masa.
Sebagaimana kita ketahui bahwa sejarah Islam dimulai dari kelahiran agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW. di jazirah Arab sekitar abad ke-6 masehi, kemudian dilanjutkan dengan era-era kepemimpinan agama dan negara oleh para khalifah rasyidah, oleh dinasti-dinasti Islam pasca khulafa rasyidin, hingga sekarang. Dan di antara dinasti-dinasti Islam yang pernah menorehkan sejarahnya adalah Khilafah Bani Umayyah.
Banyak sekali konflik dan peristiwa bersejarah yang terjadi seputar pemerintahan Bani Umayyah ini yang tentunya akan sangat panjang sekali bila kita bahas keseluruhannya satu persatu. Oleh karena itu penulis di sini akan mempersempit ruang pembahasan dinasti Bani Umayyah dalam makalah ini, hanya seputar munculnya Dinasti Umayyah, sosok pendirinya yaitu Muawiyah bin Abi Sufyan, corak pemerintahannya dan jasanya dalam perkembangan peradaban Islam.      

B.     Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi sentral pembahasan pada makalah ini adalah:
1.      Bagaimanakah latar belakang sejarah dibalik munculnya dinasti Umayyah?
2.      Bagaimanakah biografi dari pendiri dinasti Umayyah yaitu Muawiyah bin Abi Sufyan?
3.      Bagaimanakah corak pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan?
4.      Apa saja jasa Muawiyah bin Abi Sufyan dalam perkembangan peradaban Islam?

C.    Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan dari pembahasan dalam makalah ini adalah:
1.      Kita akan mengetahui sejarah yang melatarbelakangi berdirinya kekhalifahan Bani Umayyah.
2.   Kita juga akan mengetahui sosok figur seorang Muawiyah bin Abu Sufyan yang merupakan pendiri Dinasti Umayyah ini.
3.      Kita juga akan mengetahui corak dari pemerintahan selama beliau memerintah wilayah negara Islam.
4.     Disamping juga kita akan mengetahui sumbangsih apa yang telah diberikan oleh Muawiyah semenjak menjabat sebagai seorang khalifah amirul mukminin bagi kemajuan peradaban Islam di dunia.


















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Berdirinya Dinasti Umayyah
Kata sejarawan, ketika sebuah imperium runtuh di saat yang sama akan muncul imperium yang baru. Di saat sebuah era berakhir akan disusul era selanjutnya berterusan dan bermata rantai yang sama. Bagitupula sejarah berdirinya Pemerintahan Dinasti Umayyah ini tidak dapat kita lepaskan dari sejarah pemerintahan dari sebuah era yang lebih dulu datang, akan selalu diawali dari persitiwa-peristiwa penting yang mendahuluinya.

1.      Kudeta Pertama dan Terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan
Pada akhir masa kekhalifahan rasyidah telah terjadi krisis kepemimpinan yang melanda kaum muslimin. Hal itu dimulai sejak tampuk kepemimpinan khalifah dipegang oleh Utsman bin Affan ra. Utsman dinilai bersikap nepotisme dengan mengutamakan mengangkat para pejabat dan gubernur hanya berasal dari lingkaran keluarga terdekatnya saja setelah memecat sahabat yang sudah berjasa menjadi gubernur sebelumnya di masa Umar. Hal itu bisa dilihat pada jumlah gubernur yang menjabat di era beliau merupakan keluarga dekat beliau. Salah satunya mengangkat Abdullah bin Abu Sarah menggantikan Amr bin Ash di Mesir, Walid bin Uqbah menggantikan Sa’ad bin Abi Waqosh di Irak (meskipun akhirnya diganti lagi dengan Abu Musa al-Asyari yang bukan keluarga Utsman). Jadi ada sekitar 19 gubernur dari 20 provinsi negara Islam saat itu adalah keluarga Utsman.
Beberapa kaum muslimin melihat ketimpangan keadilan dalam pemerintahann Utsman. Ditambah lagi dengan provokasi gencar dari seorang tokoh bernama Abdullah bin Saba’[1] (yang kelak menjadi tokoh utama Syiah). Mereka menuduh bahwa Utsman bin Affan terlalu dicampuri kebijakannya oleh seorang menterinya yang juga keluarganya bernama Marwan bin Hakam.
Utsman pun digoyang. Revolusi politik pertama terjadi dalam sejarah Islam dimulai dari sini. Dari provinsi Bashrah  bergerak 500 orang, dari Kufah 500 orang, juga dari Mesir 500 orang. Peristiwa ini terjadi pada tahun 35 H[2]. Seribu lima ratus orang dari tiga kota besar negara Islam saat itu bergerak menuju ibukota Madinah dengan tujuan memprotes dan menurunkan Utsman bin Affan dari kursi khalifah. Padahal  saat itu Ustman sudah berusia 82 tahun. Dari masing-masing kelompok mengusung calon pengganti khalifah Utsman. Kelompok Mesir Mengusung Ali bin Abi Thalib, kelompok Bashrah mengusung Thalhah bin Ubadillah, dan kelompok Kufah mengusung Zubair bin Awam.
Malam 8 Dzulhijjah 35 H, revolusi rakyat berakhir dengan terbunuhnya Utsman bin Affan khalifah rasulullah yang ketiga (rodhiyallahu ‘anhu). Sudan bin Hamran menusukkan pedang, sementara Al-ghafiqi memukul kepala Utsman dengan besi. Utsman wafat sambil memeluk mushaf Alquran. (semoga Allah merahmati beliau).
Penduduk Madinah dan para pendemo dari Bashrah, Kufah dan Mesir sebagai tindak lanjut kosongnya jabatan pemimpin umat Islam lalu bersepakat mengangkat Sayidina Ali bin Abi Thalib ra. menjadi khalifah. Awalnya Ali menolak karena dia amat menyesalkan revolusi itu harus berakhir dengan tewasnya Utsman, seorang sahabat nabi yang sangat mulia. Dan memang Ali tidak terlibat sama sekali dengan revolusi itu. Tapi setelah didesak terus menerus akhirnya beliau mau menerima baiat kepemimpinan khalifah menjadi seorang amirul mukminin. Ali dibaiat di masjid Nabawi Madinah.

2.      Perang Jamal, Perang Shifiin dan Peristiwa Arbitrase
Ternyata kondisi politik pasca terbunuhnya Utsman dan naiknya Ali tidak berangsur pulih. Karena sebagai reaksi balasannya, muncul para gubernur yang tidak lain para keluarga Utsman menuntut sang khalifah baru agar segera menangkap dan menghukum para pembunuh Utsman. Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai gubernur Syam saat itu adalah orang yang paling vokal dalam hal ini karena memiliki basis massa dan militer yang kuat di Syam.  Bentuk desakan itu ditandai dengan penolakan Muawiyah membaiat sayidina Ali. Tuntutan yang serupa juga dilayangkan oleh para sahabat yang netral (bukan keluarga Utsman layaknya Muawiyah) seperti Siti Aisyah, Zubair dan Thalhah yang ada di Makkah.
Desakan itu tidak segera ditindaklanjuti. Ali pun dianggap tidak serius menyelesaikan masalah pembunuhan Utsman. Ali beralasan bahwa kondisi negara Islam belum stabil dengan masih adanya gubernur yang belum memberikan baiatnya sehingga tidak memungkinkan dilakukannya investigasi pembunuhan Utsman. Ali pun dituduh melindungi para pembunuh Utsman. Hal ini semakin membuat beberapa gubernur terutama Muawiyah semakin menolak untuk berbaiat kepada Ali.
Sikap Muawiyah yang paling vokal ini ditanggapi Ali dengan mengirimkan pasukan menuju Damaskus lewat Kufah setelah mengeluarkan surat pemecatan Muawiyah sebagai gubernur Syam. Setiba di Kufah, Ali dinasehati para sahabat yang lain agar mengurungkan niatnya menyerang Muawiyah. Ali pun menurut. Beliau memutuskan untuk bertahan selama setahun di Kufah.
Di saat yang sama Siti Aisyah, Zubair dan Thalhah dari kalangan yang netral juga menunjukkan tidak puas dengan sikap Ali yang terus menunda investigasi pembunuhan Utsman. Mereka mempersiapkan 30 ribu pasukan dari arah Mekah untuk mengkudeta Ali. Pasukan Ali di Kufah yang awalnya dipersiapkan menyerang Muawiyah dibelokkan menghadapi pasukan dari Mekah. Perang pertama dalam sejarah Islam pun terjadi. Perang itu diberinama perang Jamal karena kebanyakan pasukan bertunggangan unta (jamal; bahasa Arab). Zubair tewas, Thalhah terluka dan meninggal di Bashrah, sementara Siti Aisyah tertawan.
Peristiwa perang Jamal dimanfaatkan Muawiyah untuk berkampanye melawan pemerintahan Ali. Muawiyah mengangkat jubah Utsman yang berlumuran darah di masjid Damaskus. Amr bin Ash dari Mesir bergabung dengan Muawiyah mempersiapkan pasukan. Pecahlah perang kedua antar sesama umat Islam dan diberinama perang Shiffin. Perang ini terjadi di tepi sungai Jordan pada tahun 657 M/37 H selama kurang lebih 3 hari. Pasukan Ali yang berjumlah 45 ribu berhadapan dengan pasukan gabungan Syam dan Mesir yang hanya berjumlah 35 ribu.
Muawiyah terdesak kalah. Saat itulah Muawiyah bersiasat untuk mengadakan arbitrase/ tahkim (persidangan persengketaan antara pemerintah sebuah negara di satu pihak dengan rakyat biasa di pihak lain). Kedua pihak berdamai dengan kesepakatan bahwa masing-masing pihak menarik pasukannya, dan bahwa Muawiyah tetap akan berkuasa sebagai gubernur di Syam. Perang pun usai walau menimbulkan perpecahan di tubuh pasukan Ali. Pasukan yang sedari awal memprotes Ali untuk menerima ajakan arbitrase, membelot keluar barisan. Pasukan pembelot Ali ini dikomandoi oleh Hurkuz. Mereka pun dikenali dengan khawarij (diambil dari kata khoroja; keluar. Maksudnya keluar dari barisan Ali).
Hurkuz menolak arbitrase karena menganggap itu sama dengan  berhukum dengan selain hukum Allah, oleh karena itu para pelaku yang terlibat dalam arbitrase/ tahkim itu harus dibunuh. Hujaj dikirim mempimpin para assassin membunuh Muawiyah di Damasksus, Abu Bakar dikirim untuk membunuh Amr bin Ash di Mesir, dan Abdurrahman bin Muljam dikirim untuk membunuh Ali di Kufah[3]. Muawiyah hanya terluka, Amr bin Ash selamat karena tidak jadi menjadi imam salat  Subuh, sementara Ali terluka hebat ketika sedang menuju masjid untuk salat Subuh. Dua hari kemudian Ali wafat (40 H/ 661 M).



3.      Rekonsiliasi Politik
Hasan bin Ali dibaiat menjadi khalifah selanjutnya menggantikan ayahnya yang wafat. Tapi rongrongan politik Muawiyah berlanjut. Hasan bin Ali kemudian mengambil inisiatif mengadakan rekonsiliasi politik setelah melihat kemaslahatan umat Islam lebih banyak terwujud ketika besatu dalam damai. Hasan juga teringat kakeknya Nabi Muhammad saw pernah bersabda tentangnya:
Hasan berkata: “saya mendengar Abu Bakrah berkata, Aku pernah melihat Rasulullah di atas mimbar, semetara Hasan bin Ali di sisi beliau. Kadangkala Rasulullah menatap Hasan dan kadangkala menatap para hadirin. Lalu beliau berkata:
إِنَّ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيمَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
"(Sesungguhnya cucuku ini adalah sayyid. Mudah-mudahan dengannya Allah akan mendamaikan dua kelompok besar kaum Muslimin yang bertikai)".
Hasan pun bersedia meletakkan jabatan khalifah dan menyerahkannya kepada Muawiyah bin Abi Sufyan dengan beberapa syarat antara lain:
1.      Tidak boleh lagi mencela ayahnya, Ali bin Abi Thalib[4].
2.      Tidak boleh mengambil pajak dari daerah Madinah, Hijaz, dan Irak (Kufah dan Bashrah), karena itu sudah merupakan kebijakan lama dari ayahnya, Ali bin Abi Thalib.
3.      Jabatan khalifah sesudah Muawiyah harus diputuskan berdasarkan musyawarah di antara kaum muslimin[5].  
Muawiyah pun menyetujui syarat-syarat tersebut. Meskipun pada kelanjutannya ia mengkhianati janjinya pada point ketiga di atas. Sebagai bentuk penawarannya, Muawiyah menawarkan uang pensiun kepada Hasan sebesar 5 juta Dirham dari perbendaharaan Kufah ditambah dengan uang pajak yang diambil dari daerah Persia dan Dar Ibjirad yang akan diberikan setiap tahunnya. Sejak itu Hasan mengundurkan diri dari dunia politik hingga wafat pada tahun 669 M dalam usia 45 tahun. Hasan menjabat selama kurang lebih 6 bulan[6].
Peristiwa rekonsiliasi itu terjadi pada tahun 41 H/661 M dan disebut sebagai Tahun Jama’ah (tahun persatuan) karena semua kaum muslimin sepakat secara politik bersedia dipimpin oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Semenjak itulah Muawiyah bin Abi Sufyan resmi sebagai khalifah umat Islam dan amirul mukminin (pemimpin orang-orang beriman). Di saat yang sama menurut para sejarawan Islam, berdirilah Khlafah Bani Umayyah/ Dinasti Umayyah I.
Dinasti artinya keturunan raja-raja, dan bani (dari kata banuu   بَنُوْ / بَنِيْ Bahasa arab) artinya anak-anak keturunan. Jadi disebutlah kemudian Khilafah Bani Umyyah atau Dinasti Umayyah yang memiliki pemahaman: pemerintahan yang dipegang oleh anak keturunan Umayyah. Kata Umayyah diambil dari nama Umayyah bin Abdis Syams, kakek buyut daripada Muawiyah bin Abi Sufyan.



B.     Biografi Muawiyah bin Abu Sufyan
1.      Nasab dan Kelahiran
Nama beliau adalah Muawiyah anak daripada Abi Sufyan salah seorang pembesar Quraisy yang sebelum masuk Islam termasuk barisan para pemuka Quraisy yang memusuhi Nabi Muhammad SAW. Nasab lengkapnya adalah Muawiyah bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayah bin Harb bin Abdi Syams bin Abdi Manaf al-Qurasyi al-Amawiy. Ibunya bernama Hindun bin Utbah bin Rabi’ah bin Abdi Syams bin Abdul Manaf. Beliau berkun-yah Abu Abdurrahman. Lahir di Mekah 15 tahun sebelum Hijrah (sekitar tahun 606 M). Beliau masuk Islam beserta ayahnya Abi Sufyan pada peristiwa Fathu Makkah (pembebasan kota Mekah) tahun 8 H. Saat itu beliau masih berumur 23 tahun[7].

2.      Karir Politik
Karena kemampuan menulis dan membaca serta berhitungnya melebihi orang-orang Quraisy pada umumnya, Muawiyah diangkat Nabi Muhammad menjadi penulis wahyu, disamping juga sebagai bentuk penghargaan Nabi kepada keluarga Bani Umayyah yang merupakan keluarga bangsawan di kota Mekah.
Di masa kekhalifahan Abu Bakar As-Shiddiq, Muawiyah pernah dikirim untuk membantu saudaranya Yazid bin Abi Sufyan dalam penaklukan daerah Syam. Baru di masa Umar bin Khattab, Muawiyah diangkat menjadi gubernur di Syam setelah saudaranya Yazid meninggal dunia. Selama menjadi gubernur, Muawiyah patuh mengirimkan upeti ke ibukota sebanyak 1000 dinar pertahunnya. Dikarenakan tidak ada larangan dari pusat, Muawiyah memperkuat sendiri angkatan bersenjata di wilayahnya Syam guna memperkuat posisi kepemimpinannya sebagai gubernur dan sebagai pasukan ekspansi memperluas wilayah negara Islam. Beliau menjadi gubernur di Syam selama kurang lebih 20 tahun lamanya. Beliaulah satu-satunya gubernur yang paling lama diserahi amanah sebagai gubernur.

3.      Sifat dan Karakter
Muawiyah memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat dan ahli dalam lapangan politik. Ditambah tampilan fisiknya yang bertubuh tinggi putih, tampan dan kharismatik sehingga disukai Umar yang menyebutnya sebagai “Kaisar Arab yang berkuasa di Syam”. Terkumpul dalam dirinya sifat sifat penguasa, politikus, dan administrator. Tetapi terkenal sabar dimana seni berpolitiknya berkembang.
Muawiyah juga dikenal ambisius dalam hal politik kepemimpinan. Imam Thobari dalam kitabnya Al-Kabir meriwayatkan dari Abdul Malik bin Umair. Dia berkata: Muawiyah berkata: sejak Rasulullah Saw. bersabda kepadaku: “Wahai Muawiyah, Jika kamu menjadi raja maka berbuat baiklah”, Saya selalu menginginkan jabatan khalifah.
Muawiiyah juga memiliki kemampuan luar biasa untuk menggunakan kekuatan hanya ketika dipandang perlu dan sebagai gantinya lebih banyak menggunakan jalan damai. Kelembutannya yang sarat dengan kebijakan ia gunakan agar tentara meletakan senjata dan membuat kagum musuhnya. Sikapnya yang tidak mudah marah dan pengendalian diri yang sangat tinggi, membuatnya mampu menguasai keadaan. Hal ini tergambar dalam perkataan beliau yang direkam oleh sejarah:
“Aku tidak akan menggunakan pedangku selama cambukku masih cukup. Dan aku tidak akan menggunakan cambukku selama lidahku masih dapat mengatasinya. “
“Jika ada rambut yang membentang antara aku dan penentangku. Maka rambut itu tidak akan putus selamanya. Jika mereka yang mengulurkannya maka aku akan menariknya. Jika mereka menariknya aku akan mengulurkannya.“
Dalam menjalankan pemerintahan Muawiyah memang terkenal keras kepala dan otoriter. Namun gaya kepemimpinan inilah yang menjadikan pemerintahan Islam saat beliau memimpin berjalan stabil.

4.      Wafat
Beliau wafat tahun 60 H/ 680 M di bulan Rajab dalam usia 75 tahun. Beliau menjabat khalifah selama kurang lebih 20 tahun. Wafatnya Muawiyah membuat armada lautnya yang paling fenomenal mundur dan menghentikan penyerangan ke Konstantionpel untuk sementara waktu. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa yang menggantikan kepemimpinan setelah beliau adalah anaknya Yazid bin Muawiyah.

5.      Kata Orang Tentang Beliau
Sebuah hadis Nabi Muhammad saw tentang Muawiyah dengan kualitas hadis hasan (namun menurut Albaniy sampai derajat shahih): dari Abdurrahman bin Abi Umairah dari Rasulullah saw bersabda kepada Muawiyah: “Ya Allah, jadikanlah dia orang yang memberi petunjuk dan mendapat petunjuk”.
Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadis dalam kitab Shohih-nya dari Kholid bin Ma’dan dan Umair bin Mas’ud telah menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Pasukan pertama daripada umatku yang berperang di laut telah dipastikan baginya (tempat di surga)”. Dan fakta sejarah menyebutkan bahwa isyarat ini ditujukan kepada armada laut Muawiyah di zaman Umar bin Khattab.
Dalam sebuah riwayat hadis mauquf: Di zaman Umar, seseorang mendatangi Ibnu Abbas dan menceritakan bahwa Muawiyah hanya solat witir satu rakaat saja. Ibnu Abbas pun menjawab: “(Biarkan) seungguhnya dia seorang yang faqih (paham agama)”[8].
Sahabat Sa’ad bin Abi Waqosh ra. berkata dan termaktub dalam buku Al-Bidayah wa An-Nihayah jilid 8 disebutkan: “Tak pernah saya lihat lagi orang yang lebih pandai dalam memutuskan hukum selepas Sayyidina Utsman, daripada tuan pintu ini” (maksudnya Muawiyah bin Abi Sufyan).
Sahabat Qobishah bin Jabir ra berkata: “Tak pernah saya lihat orang yang lebih penyantun, lebih layak memerintah, lebih hebat, lebih lembut hati, dan lebih luas tangan di dalam melakukan kebaikan daripada Muawiyah”.
Abdullah bin Mubarak. Seorang tabi’in ditanya: Yang mana lebih utama, Muawiyah atau Umar bin Abdul Aziz. Abdullah bin Mubarak marah dan mengatakan: “Demi Allah. Debu yang masuk ke dalam hidung Muawiyah karena berjihad di jalan Allah bersama Rasulullah itu saja lebih baik daripada Umar bin Abdul Aziz".
Ibnu Umar ra. ketika berkata: “Saya tidak melihat setelah Rasulullah yang lebih pandai memimpin manusia daripada Muawiyah”, ia pun ditanya: Sekalipun ayahmu? Ibnu Umar menjawab: “Ayahku memang lebih baik dari Muawiyah, tapi Muawiyah lebih pandai berpolitik darinya”.
Ibnu Abbas ra. berkata: “Saya tidak melihat seorang yang lebih arif tentang kenegaraan daripada Muawiyah”.
Zuhri berkata: “Muawiyah bekerja dalam pemerintahan Umar bertahun-tahun tanpa cela sedikitpun darinya”.
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata: Muawiyah adalah pamannya orang beriman, beliau juga adalah seorang penulis wahyu Allah.
Ad-Zahabi : Amirul Mukminin, Raja Islam, Muawiyah adalah raja pilihan yang keadilannya mengalahkan kezaliman. Lebih lanjut Ad-Zahabi mengomentari Ka’ab Al-Ahbar yang berkata: tidak ada orang yang berkuasa sebagaimana berkuasanya Muawiyah. Katanya: Ka’ab meninggal sebelum Muawiyah menjadi khalifah. Maka benarlah apa yang dikatakannya. Sebab Muawiyah menjadi khalifah selama dua puluh tahun. Tidak ada pemberontakan dan tidak ada yang menandinginya dalam kekuasannya. Tidak seperti para khalifah yang datang setelahnya. Mereka banyak ditentang. Bahkan ada sebagian wilayah yang menyatakan melepaskan diri.


C.    Corak Pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan
Selepas penyerahan kekuasaan negara Islam oleh Hasan bin Ali kepada Muawiyah yang terjadi di Kufah pada tahun 661 M, maka resmilah Muawiyah menjadi amirul mukminin/ khalifah berikutnya. Tidak ada perbedaan pendapat ulama dalam hal ini. Kecuali setelah Muawiyah mendeklarasikan anaknya Yazid bin Muawiyah (pada tahun 50 H) sebagai putera mahkota yang akan mewarisi jabatan khalifah tersebut sepeninggalnya. Mulailah para ulama dan sejarawan menyematkan kata yang lebih tepat untuk beliau sandang, yaitu raja dan pemerintahan yang dipegangnya adalah sebuah kerajaan. Sistem suksesi putera mahkota ala kerajaan ini diadopsi oleh Muawiyah meniru kepada sistem kerajaan Bizantium dan Persia atas usulan dari salah satu gubernurnya di Kufah, Mughirah bin Syu’bah, demi menghindari perpecahan politik sepeninggalnya kelak yang lebih besar.
Syaikh Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu’ Fatawa-nya berkata: para ulama sepakat bahwa Muawiyah adalah raja terbaik dalam umat. Karena empat pemimpin sebelumnya adalah para khalifah nubuwah. Adapun dia (Muawiyah bin Abi Sufyan) adalah awal raja dan kepemimpinannya adalah rahmat. Dan ternyata gelar raja itu pun diamini oleh Muawiyah sendiri. Ketika beliau mendengar sabda Nabi Muhammad yang berbunyi:
الْخِلاَفَةُ فِي أُمّتِي ثَلاَثُونَ سَنَةً، ثُمّ مُلْكٌ بَعْدَ ذَلِك
“Pemerintahan Khilafah pada umatku hanyalah 30 tahun, kemudian setelah itu pemerintahan Kerajaan”. (HR. Imam Ahmad)
Muawiyah menjawabnya dengan kata-kata: “Saya rela dengan kerajaan”.
Karena sadar bahwa sistem pemerintahannya kelak itu akan berbeda sekali dengan sistem pemerintahan yang diterapkan oleh para Khulafa Rasyidin, maka Muawiyah mengartikan kata khalifah yang semula adalah kependekan dari Khalifatur Rasulillah (pengganti nabi dalam memimpin umat[9]) menjadi khalifatullah (pemimpin yang diangkat oleh Allah). Hal ini sudah digambarkan jauh-jauh hari oleh sebuah hadis Nabi Muhammad SAW riwayat Ahmad dari Nu’man bin Basyir:
تَكُوْنُ النُّبُوَّةُ فِيْكُمْ مَا شَاءَ اللهُ اَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا اللهُ اِذَا شَاءَ اَنْ يَرْفَعَهَا. ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجٍ النُّبُوَّة فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ اَنْ تَكُوْنَ. ثُمَّ يَرْفَعُهَا اللهُ اِذَا شَاءَ اَنْ يَرْفَعَهَا. ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا عَاضًّا فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ اَنْ تَكُوْنَ. ثُمَّ يَرْفَعَهَا اللهُ اِذَا شَاءَ اَنْ يَرْفَعَهَا. ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ اَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعَهَا اللهُ اِذَا شَاءَ اَنْ يَرْفَعَهَا. ثُمَّ تَكُوْنُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُبُوَّةِ . ثُمَّ سَكَتَ
“Di tengah kalian terdapat era kenabian sesuai dengan kehendak Allah lalu Allah akan melenyapkannya jika dia menghendakinya. kemudian akan ada era khilafah yang sesuai dengan manhaji kenabian, maka ia ada sesuai dengan kehendak Allah dan akan dicabutnya bila dia menghendakinya. Kemudian akan ada era penguasa yang menggigit, ia ada sesuai dengan kehendak Allah dan akan lenyap bila Allah menghendakinya. Kemudian akan ada era penguasa yang memaksa/ tiran, ia ada sesuai dengan kehendak Allah dan akan lenyap bila Allah menghendakinya. Kemudian akan ada era khilafah sesuai dengan manhaj kenabian. Nabi pun kemudian diam....”.
Dalam hadits ini Rasulullah menyatakan urutan perjalanan umat Islam diawali oleh Nubuwah (masa kenabian), diikuti oleh khilafah yang berpedoman kepada jalan kenabian, kemudian dilanjutkan oleh kekuasaan yang menggigit (maksudnya monarki),  kemudian kekuasaan yang memaksa (otoriter militer), kemudian terakhir sistem khilafah yang kembali berpedoman jalan kenabian. Bila era kenabian ditandai dengan wafatnya nabi Muhammad, era khilafah berakhir seumur 30 tahun (di tangan Hasan bin Ali), maka era setelahnya yaitu era kepemimpinan Muawiyah dan selanjutnya adalah era kekuasaan yang “menggigit” karena mempertahankan kekuasaan hanya untuk disekitar keluarga istana (monarki). Isyarat ini diberikan kepada dinasti Umayyah, dinasti Abbasiyah, dinasti Utsmaniyah dan sebagainya.
Salah satu perbedaan mendasar antara khilafah rasyidah dan khilafah selanjutnya (Dinasti Umayyah) adalah kehidupan khalifah/ amirul mukminin yang awalnya sederhana sekali tak berbeda dengan rakyat kebanyakan[10], menjadi layaknya raja yang hidup di sebuah benteng dan istana besar, yang dikawal serta dilindungi oleh banyak prajurit. Muawiyah mengambil pelajaran dari terbunuhnya tiga khalifah sebelumnya, dimana pemimpin sebuah umat dan negara haruslah dilindungi dengan perlindungan yang maksimal karena merupakan orang yang paling penting kedudukannya. Beliau juga memindahkan pusat ibukota negara Islam yang awalnya di Madinah menjadi Damaskus di Syam. Ini pun tak lepas dari pertimbangan keamanan beliau sebagai seorang pemimpin negara dan lamanya beliau berkuasa di sana[11].

D.    Kemajuan Peradaban Islam di Masa Muawiyah
Sebagaimana disebutkan sebelumnya Muawiyah dikenal sebagai sahabat yang paling pandai dalam bidang politik dan administrasi pemerintahan. Pengalamannya sebagai gubernur Syam selama 20 tahun lamanya tanpa cela menunjukkan kemampuannya yang tak tertandingi. Bahkan Abdullah bin Umar mengatakan Muawiyah mengungguli ayahnya Umar bin Khattab dalam hal memimpin pemerintahan. Tak aneh bila kemudian ijtihad politik Muawiyah kemudian mengatakan dia lebih berhak menjabat khalifah ketimbang sahabat Ali bin Abi Thalib.
Berikut kemajuan dan prestasi yang dicapai oleh negara Islam ketika berada dipimpin oleh Muawiyah:
1.      Militer dan Ekspansi Wilayah
Muawiyah adalah gubernur yang paling aktif memperkuat sendiri angkatan bersenjatanya guna memperluas futuhat/ ekspansi wilayah karena memang diperbolehkan oleh khalifah saat itu. Setelah menjabat khalifah, Muawiyah membentuk tiga angkatan bersenjata: angkatan darat, angkatan laut, dan kepolisian. Armada laut miliknya yang paling fenomenal memiliki 1700 kapal laut tangguh. Dengannya Muawiyah melanjutkan ekspansi wilayah negara Islam yang dilakukannya semenjak menjadi gubernur Syam dan sempat terhenti ketika terjadi fitnah terbunuhnya Khalifah Utsman di Madinah. Armada lautnya adalah pasukan pertama yang berhasil melakukan ekspansi wilayah menyeberangi lautan hingga ke benteng Bizantium  dan Konstantinopel di Eropa.
Muawiyah juga membentuk pasukan untuk musim panas dan musim dingin. Memberlakukan wajib militer kepada warga negara yang itu tidak terjadi di zaman khilfah rasyidah dimana para mujahidin berjihad adalah dengan sukarela karena dorongan agama. Wilayah yang dapat dikuasainya mencapai Tunisia di arah barat, Afghanistan dan Khurasan di arah timur.

2.      Tata Kelola Administrasi Pemerintahan
Melanjutkan modernisasi administrasi dan struktur pemerintahan oleh Khalifah Umar bin Khattab dimana negara Islam memiliki banyak provinsi yang dipimpin oleh seorang amir atau wali (gubernur), Muawiyah melengkapinya dengan diadakannya katib (sekretaris) dan hajib (pengawal) bagi masing-masing gubernur, ditambah dengan shohibul kharraj (pejabat pendapatan daerah), shohibus syurthoh (pejabat kepolisian daerah) dan qadhi (kepala agama sekaligus hakim).
Adapun di tingkat pusat, terdapat beberapa diwan (seperti departemen/ kementerian) antara lain:
1.      Diwan Rasail (Departemen Sekretaris Negara) yang dipimpin oleh seorang Katib Rasail (Mensesneg). Tugas diwan ini adalah mengurus surat-surat negara.
2.      Diwan Khatim yang bertugas menyalin dan meregistrasi semua keputusan atau aturan dari khalifah untuk dikirim kepada pemerintahan di tingkat daerah.
3.      Diwan Kharraj (Departemen Keuangan) yang dipimpin seorang Shohibul Kharraj yang bertugas mengumpulkan dan mengelola keuangan negara yang didapat dari zakat, infak, wakaf, ghanimah, fai, usyur, dan kharraj/ pajak non muslim. Semua pendapatan negara dimasukkan dalam baitul maal (kas negara).
4.      Diwan Bariid (Departemen Pos dan Komunikasi) yang bertugas mengirimkan surat serta melayani informasi dari pusat ke daerah dan sebaliknya. Kebijakan Muawiyah dalam departemen ini adalah menyiapkan kuda-kuda ekspedisi terbaik di setiap posnya hampir di seluruh wilayah negara Islam. Pos ini juga melayani eskpedisi surat-menyurat untuk luar negeri. Tercatat sebuah surat datang dari kepulauan Nusantara tepatnya dari seorang raja Sriwijaya bernama Srindravarman dan ditujukan kepada Khalifah Muawiyah di Damaskus ibukota Syam. Bahkan di era khalifah Umar bin Abdul Aziz, seorang ratu dari Jawa bernama Ratu Shima (istananya di Kalingga dekat Jepara) masuk Islam setelah berkorespondensi dengan khalifah[12].  
5.      Diwan Jundi (Departemen Pertahanan) yang dipimpin oleh Katib Jundi yang bertugas mengorganisasi militer negara untuk keperluan pertahanan dan ekspansi negara. Kebijakan Muawiyah di sini adalah hanya mengutamakan orang-orang yang bersuku bangsa Arab saja.
6.   Diwan Qadhi (Departemen Kehakiman) yang dipimpin oleh seorang Qodhi yang bertugas menangani perkara pengadilan.  
7.   Diwan Syurthoh (Kepolisian) yang dipimpin oleh seorang Shohibus Syurthoh yang bertugas yang bertugas memelihara keamanan masyarakat.
8.      Diwan Hijabah (seperti Paspampres) yang dipimpin oleh seorang Hajib bertugas menjaga serta mengatur siapa saja yang boleh bertemu khalifah. Hajib ini tidak dikenal ketika masa khulafa rasyidin, dimana siapa saja boleh langsung bertemu khalifah mengadukan masalahnya, tapi tentunya cukup beresiko.












BAB III
KESIMPULAN
1.    Dinasti Umayyah berdiri pada tahun 661 M/ 41 H seiring dengan diserahkannya kepemimpinan umat Islam dari Hasan bin Ali ra. kepada Muawiyah bin Abi Sufyan ra.
2. Berdirinya Dinasti Umayyah tak bisa dilepaskan dari beberapa peristiwa penting yang melatarbelakanginya. Seperti kudeta pertama, pembunuhan Utsman, Perang Jamal, Perang Shiffin dan arbitrase pertama dalam sejarah Islam.
3.  Muawiyah bin Abi Sufyan adalah tokoh yang paling berpengaruh di dalam kepemimpinan Bani Umayyah. Di samping sebagai pendirinya yang cukup kontroversial, juga sebagai khalifah yang banyak membuat kemajuan dan perubahan luar biasa dalam sistem pemerintahan dan administrasi negara Islam.  
4.     Secara kepribadian Muawiyah adalah sosok yang sabar, penyantun, lembut hati, faqih agama, pandai administrasi, juga ambisius (penuh kesungguhan) dalam mencapai tujuannya.
5.     Perang Shiffin dan persitiwa Arbitrase terjadi bukan karena Muawiyah gila kekuasaan ingin mengincar kursi khalifah, tapi lebih karena hasil ijtihad beliau saat itu yang menilai beliau lebih baik menggantikan Khalifah Ali agar bisa menyelesaikan kasus investigasi pembunuhan Utsman. Meski kebanyakan pendapat mengatakan ijtihad beliau ini kurang tepat, namun dilihat dari segi sudut pandang apa itu ijtihad dan kedudukan mulia beliau sebagai seorang sahabat Nabi, maka sudah sebaiknya kita menjauhkan diri dari mengomentari beliau (juga para sahabat yang lainnya) dengan perkataan yang tidak sepantasnya. 

     Demikian komentar para ulama (terutama ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah) tentang perang saudara yang terjadi di antara para sahabat. Sebagaimana perkataan seorang ulama sebagai berikut:
“….. Demikianlah madzhab Ahlu Sunnah wal Jama'ah, yaitu Ali Radhiyallahu 'anhu berada di pihak yang benar. Adapun Mu'awiyah yang memerangi Ali telah salah dalam ijtihadnya, dan ia mendapat satu pahala atas kesalahan ijtihadnya tersebut, insya Allah. Sebagaimana disebutkan dalam Shahih al Bukhari, dari hadits Amr bin al Ash Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا َاجْتَهَدَ الْحَاكِمُ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا اجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
"Jika seorang hakim berijtihad lalu benar, maka ia berhak mendapat dua pahala, namun jika ia berijtihad lalu salah, maka ia mendapat satu pahala".
6.      Corak pemerintahan Negara Islam di tangan Bani Umayyah adalah kerajaan karena menerapkan sistem suksesi putera mahkota. Namun di dalam penerapan hukum dan kepemimpinan Islam masih menggunakan sistem khilafah Islam dimana kepemimpinan umum umat Islam di seluruh dunia di tangan satu orang (amirul mukminin/ imamul a’zhom), proses pengangkatannya melalui proses baiat yang sah secara syara’, dan sumber hukum negara tetap adalah syariat Islam yang bersumber Alquran dan Assunnah (meskipun dalam perjalanannya banyak penyimpangan syariat oleh penguasa). Karena itu tidaklah salah menyebut kekhalifahan Bani Umayyah dan dinasti-dinasti besar selanjutnya sebagai khilafah Islam. Penyimpangan syariat yang dilakukan oleh dinasti-dinasti ini terutama di bidang suksesi kepemimpinan hanya “mencabut” kata-kata sifat Rasyidah (mendapat petunjuk/ adil dan bijaksana) dari kekhilafahan mereka. Abu A’la Al-Maududi mengatakan: Khilafah tapi tidak termasuk dalam jenis khilafah rasyidah[13].
7.      Muawiyah melakukan banyak moderniasi dalam bidang militer dan administrasi struktur pemerintahan negara. Sejarawan mengatakan Muawiyah adalah orang pertama yang membangun kantor catatan negara dan pelayanan pos di dunia.















REFERENSI
Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009
As-Sulami, Muhammad bin Shamil, Tartib wa Tahdzib al-Bidayah wa an-Nihayah, diterjemahkan oleh Abu Ihsan al-Itsari, Darul Haq, Jakarta, 2004
Syalabi, Ahmad, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, Pustaka al-Husna, Jakarta, 1982
Faizi, Herfi Ghulam, Umar bin Abdul Aziz; 29 Bulan Mengubah Dunia, Cahaya Siroh, Jakarta, 2012
Marzuki Haji Mahmood, Isu-isu Kontroversi Dalam Sejarah Pemerintahan Khulafa al-Rasyidin, berbahasa Melayu, tanpa tahun.
Mawardi, Imam, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Kattani dan Kamaludin Nurdin, Cetakan I, Gema Insani Press, Jakarta, 2000
Maududi, Abu A’la, Khilafah dan Kerajaan, diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir, Cet. I, Penerbit Karisma, Bandung, 2007          
www.voa-khilafah.tk
www.referensimakalah.com/2012/08/biografi-muawiyah-bin-abu-sufyan.html
viosixwey.blogspot.com/2013/04/biografiriwayat-hidupsejarah-muawiyah.html

abusalafy.wordpress.com/2012/10/25/muawiyah-dalam-pandangan-para-tokoh ulama-ahlusunnah-i-2/


[1] Herfi Ghulam Faizi, Umar bin Abdul Aziz; 29 Bulan Mengubah Dunia, (Jakarta: Cahaya Siroh, 2012), h. 14
[2] Herfi Ghulam Faizi, Umar … h. 14
[3] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelesuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Samapai Indonesia, Cet. 3 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 55
[4] Muhammad bin Shamil as-Sulami, Tartib wa Tahdzib al-Bidayah wa an-Nihayah, diterjemahkan oleh: Abu Ihsan al-Itsari, Cet. 1 (Jakarta: Darul Haq, 2004), h. 24

[5]Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2,(Jakarta: Pustaka al-Husna, 1982), h. 35
[6] Herfi Ghulam Faizi, Sejarah … , h. 15
[7] Samsul Nizar, Sejarah … h. 56
[8] Hadits riwayat Bukhari dengan nomor hadits: 3765
[9] Imam Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Kattani dan Kamaludin Nurdin, (Jakarta: Geman Insani Pres, 2000), h. 36
[10] Diceritakan bahwa pernah ada seorang utusan dari penguasa Romawi Timur di Syam yang diutus mengirimkan surat ke Madinah. Utusan itu pun terkejut dan kagum bertemu Khalifah Umar bin Khattab r.a sang pemimpin negara Islam, tengah beristirahat di kebun kurma tanpa pengawalan ketat dan kehidupan yang mewah.
[11] Samsul Nizar, Sejarah …, h. 57
[12] Korespondensi Khalifah Bani Umayyah dengan Raja dan Ratu di Nusantara, Voice of Khilafah, www.voa-khilafah.tk, 7 September 2014
[13] Abu A’la Maududi, Khilafah dan Kerajaan, diterjemahkan oleh Muhamamd al-Baqir, Cetakan I Edisi Revisi (Bandung, Penerbit Karisma, 2007)  h. 185

No comments:

Post a Comment