BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Soekarno
berkata: jangan sekali-kali melupakan sejarah (jas merah). Perkataan ini
mungkin benar adanya karena sejarah memiliki dan menceritakan fakta menarik
yang bisa diambil hikmah pelajaran dari peristiwa peristiwa yang ada di
dalamnya, sehingga bisa kita jadikan pedoman dalam menjalani kehidupan dunia
selanjutnya. Pelajaran yang baik kita tiru, yang buruk dan kelam kita
tinggalkan agar tidak terjatuh pada kesalahan yang sama yang diperbuat oleh
orang-orang terdahulu.
Sejarah
perkembangan Islam adalah salah satu sejarah yang tak boleh dilewatkan. Apalagi
oleh orang Islam secara umum tak terkecuali bangsa Indonesia yang mayoritas
penduduknya beragama Islam. Dengan kajian sejarah peradaban Islam kita dapat
mengetahui perkembangan Islam sebagai sebuah agama dan sebuah sistem hidup secara
lebih detail dan mendalam dari masa ke masa.
Sebagaimana
kita ketahui bahwa sejarah Islam dimulai dari kelahiran agama Islam yang dibawa
oleh Rasulullah Muhammad SAW. di jazirah Arab sekitar abad ke-6 masehi,
kemudian dilanjutkan dengan era-era kepemimpinan agama dan negara oleh para
khalifah rasyidah, oleh dinasti-dinasti Islam pasca khulafa rasyidin, hingga
sekarang. Dan di antara dinasti-dinasti Islam yang pernah menorehkan sejarahnya
adalah Khilafah Bani Umayyah.
Banyak sekali
konflik dan peristiwa bersejarah yang terjadi seputar pemerintahan Bani Umayyah
ini yang tentunya akan sangat panjang sekali bila kita bahas keseluruhannya satu
persatu. Oleh karena itu penulis di sini akan mempersempit ruang pembahasan
dinasti Bani Umayyah dalam makalah ini, hanya seputar munculnya Dinasti Umayyah,
sosok pendirinya yaitu Muawiyah bin Abi Sufyan, corak pemerintahannya dan
jasanya dalam perkembangan peradaban Islam.
B.
Rumusan Masalah
Adapun yang
menjadi sentral pembahasan pada makalah ini adalah:
1.
Bagaimanakah
latar belakang sejarah dibalik munculnya dinasti Umayyah?
2.
Bagaimanakah
biografi dari pendiri dinasti Umayyah yaitu Muawiyah bin Abi Sufyan?
3.
Bagaimanakah
corak pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan?
4.
Apa
saja jasa Muawiyah bin Abi Sufyan dalam perkembangan peradaban Islam?
C.
Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan
dari pembahasan dalam makalah ini adalah:
1.
Kita
akan mengetahui sejarah yang melatarbelakangi berdirinya kekhalifahan Bani
Umayyah.
2. Kita
juga akan mengetahui sosok figur seorang Muawiyah bin Abu Sufyan yang merupakan
pendiri Dinasti Umayyah ini.
3.
Kita
juga akan mengetahui corak dari pemerintahan selama beliau memerintah wilayah
negara Islam.
4.
Disamping
juga kita akan mengetahui sumbangsih apa yang telah diberikan oleh Muawiyah
semenjak menjabat sebagai seorang khalifah amirul mukminin bagi kemajuan
peradaban Islam di dunia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Berdirinya Dinasti Umayyah
Kata sejarawan,
ketika sebuah imperium runtuh di saat yang sama akan muncul imperium yang baru.
Di saat sebuah era berakhir akan disusul era selanjutnya berterusan dan bermata
rantai yang sama. Bagitupula sejarah berdirinya Pemerintahan Dinasti Umayyah ini
tidak dapat kita lepaskan dari sejarah pemerintahan dari sebuah era yang lebih
dulu datang, akan selalu diawali dari persitiwa-peristiwa penting yang
mendahuluinya.
1.
Kudeta
Pertama dan Terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan
Pada akhir masa
kekhalifahan rasyidah telah terjadi krisis kepemimpinan yang melanda kaum
muslimin. Hal itu dimulai sejak tampuk kepemimpinan khalifah dipegang oleh
Utsman bin Affan ra. Utsman dinilai bersikap nepotisme dengan mengutamakan
mengangkat para pejabat dan gubernur hanya berasal dari lingkaran keluarga
terdekatnya saja setelah memecat sahabat yang sudah berjasa menjadi gubernur
sebelumnya di masa Umar. Hal itu bisa dilihat pada jumlah gubernur yang
menjabat di era beliau merupakan keluarga dekat beliau. Salah satunya
mengangkat Abdullah bin Abu Sarah menggantikan Amr bin Ash di Mesir, Walid bin
Uqbah menggantikan Sa’ad bin Abi Waqosh di Irak (meskipun akhirnya diganti lagi
dengan Abu Musa al-Asyari yang bukan keluarga Utsman). Jadi ada sekitar 19 gubernur
dari 20 provinsi negara Islam saat itu adalah keluarga Utsman.
Beberapa kaum
muslimin melihat ketimpangan keadilan dalam pemerintahann Utsman. Ditambah lagi
dengan provokasi gencar dari seorang tokoh bernama Abdullah bin Saba’[1]
(yang kelak menjadi tokoh utama Syiah). Mereka menuduh bahwa Utsman bin Affan
terlalu dicampuri kebijakannya oleh seorang menterinya yang juga keluarganya
bernama Marwan bin Hakam.
Utsman pun
digoyang. Revolusi politik pertama terjadi dalam sejarah Islam dimulai dari
sini. Dari provinsi Bashrah bergerak 500
orang, dari Kufah 500 orang, juga dari Mesir 500 orang. Peristiwa ini terjadi
pada tahun 35 H[2].
Seribu lima ratus orang dari tiga kota besar negara Islam saat itu bergerak
menuju ibukota Madinah dengan tujuan memprotes dan menurunkan Utsman bin Affan
dari kursi khalifah. Padahal saat itu
Ustman sudah berusia 82 tahun. Dari masing-masing kelompok mengusung calon
pengganti khalifah Utsman. Kelompok Mesir Mengusung Ali bin Abi Thalib,
kelompok Bashrah mengusung Thalhah bin Ubadillah, dan kelompok Kufah mengusung
Zubair bin Awam.
Malam 8
Dzulhijjah 35 H, revolusi rakyat berakhir dengan terbunuhnya Utsman bin Affan
khalifah rasulullah yang ketiga (rodhiyallahu ‘anhu). Sudan bin Hamran
menusukkan pedang, sementara Al-ghafiqi memukul kepala Utsman dengan besi.
Utsman wafat sambil memeluk mushaf Alquran. (semoga Allah merahmati beliau).
Penduduk Madinah
dan para pendemo dari Bashrah, Kufah dan Mesir sebagai tindak lanjut kosongnya
jabatan pemimpin umat Islam lalu bersepakat mengangkat Sayidina Ali bin Abi
Thalib ra. menjadi khalifah. Awalnya Ali menolak karena dia amat menyesalkan
revolusi itu harus berakhir dengan tewasnya Utsman, seorang sahabat nabi yang
sangat mulia. Dan memang Ali tidak terlibat sama sekali dengan revolusi itu. Tapi
setelah didesak terus menerus akhirnya beliau mau menerima baiat kepemimpinan
khalifah menjadi seorang amirul mukminin. Ali dibaiat di masjid Nabawi Madinah.
2.
Perang
Jamal, Perang Shifiin dan Peristiwa Arbitrase
Ternyata kondisi
politik pasca terbunuhnya Utsman dan naiknya Ali tidak berangsur pulih. Karena
sebagai reaksi balasannya, muncul para gubernur yang tidak lain para keluarga
Utsman menuntut sang khalifah baru agar segera menangkap dan menghukum para
pembunuh Utsman. Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai gubernur Syam saat itu adalah
orang yang paling vokal dalam hal ini karena memiliki basis massa dan militer
yang kuat di Syam. Bentuk desakan itu
ditandai dengan penolakan Muawiyah membaiat sayidina Ali. Tuntutan yang serupa
juga dilayangkan oleh para sahabat yang netral (bukan keluarga Utsman layaknya
Muawiyah) seperti Siti Aisyah, Zubair dan Thalhah yang ada di Makkah.
Desakan itu
tidak segera ditindaklanjuti. Ali pun dianggap tidak serius menyelesaikan
masalah pembunuhan Utsman. Ali beralasan bahwa kondisi negara Islam belum
stabil dengan masih adanya gubernur yang belum memberikan baiatnya sehingga
tidak memungkinkan dilakukannya investigasi pembunuhan Utsman. Ali pun dituduh
melindungi para pembunuh Utsman. Hal ini semakin membuat beberapa gubernur
terutama Muawiyah semakin menolak untuk berbaiat kepada Ali.
Sikap Muawiyah
yang paling vokal ini ditanggapi Ali dengan mengirimkan pasukan menuju Damaskus
lewat Kufah setelah mengeluarkan surat pemecatan Muawiyah sebagai gubernur Syam.
Setiba di Kufah, Ali dinasehati para sahabat yang lain agar mengurungkan
niatnya menyerang Muawiyah. Ali pun menurut. Beliau memutuskan untuk bertahan
selama setahun di Kufah.
Di saat yang
sama Siti Aisyah, Zubair dan Thalhah dari kalangan yang netral juga menunjukkan
tidak puas dengan sikap Ali yang terus menunda investigasi pembunuhan Utsman.
Mereka mempersiapkan 30 ribu pasukan dari arah Mekah untuk mengkudeta Ali.
Pasukan Ali di Kufah yang awalnya dipersiapkan menyerang Muawiyah dibelokkan
menghadapi pasukan dari Mekah. Perang pertama dalam sejarah Islam pun terjadi.
Perang itu diberinama perang Jamal karena kebanyakan pasukan bertunggangan unta
(jamal; bahasa Arab). Zubair tewas, Thalhah terluka dan meninggal di
Bashrah, sementara Siti Aisyah tertawan.
Peristiwa
perang Jamal dimanfaatkan Muawiyah untuk berkampanye melawan pemerintahan Ali.
Muawiyah mengangkat jubah Utsman yang berlumuran darah di masjid Damaskus. Amr
bin Ash dari Mesir bergabung dengan Muawiyah mempersiapkan pasukan. Pecahlah
perang kedua antar sesama umat Islam dan diberinama perang Shiffin. Perang ini
terjadi di tepi sungai Jordan pada tahun 657 M/37 H selama kurang lebih 3 hari.
Pasukan Ali yang berjumlah 45 ribu berhadapan dengan pasukan gabungan Syam dan Mesir
yang hanya berjumlah 35 ribu.
Muawiyah
terdesak kalah. Saat itulah Muawiyah bersiasat untuk mengadakan arbitrase/ tahkim
(persidangan persengketaan antara pemerintah sebuah negara di satu pihak dengan
rakyat biasa di pihak lain). Kedua pihak berdamai dengan kesepakatan bahwa masing-masing
pihak menarik pasukannya, dan bahwa Muawiyah tetap akan berkuasa sebagai
gubernur di Syam. Perang pun usai walau menimbulkan perpecahan di tubuh pasukan
Ali. Pasukan yang sedari awal memprotes Ali untuk menerima ajakan arbitrase,
membelot keluar barisan. Pasukan pembelot Ali ini dikomandoi oleh Hurkuz.
Mereka pun dikenali dengan khawarij (diambil dari kata khoroja;
keluar. Maksudnya keluar dari barisan Ali).
Hurkuz menolak
arbitrase karena menganggap itu sama dengan
berhukum dengan selain hukum Allah, oleh karena itu para pelaku yang
terlibat dalam arbitrase/ tahkim itu harus dibunuh. Hujaj dikirim mempimpin
para assassin membunuh Muawiyah di Damasksus, Abu Bakar dikirim untuk membunuh
Amr bin Ash di Mesir, dan Abdurrahman bin Muljam dikirim untuk membunuh Ali di
Kufah[3].
Muawiyah hanya terluka, Amr bin Ash selamat karena tidak jadi menjadi imam
salat Subuh, sementara Ali terluka hebat
ketika sedang menuju masjid untuk salat Subuh. Dua hari kemudian Ali wafat (40
H/ 661 M).
3.
Rekonsiliasi
Politik
Hasan bin Ali
dibaiat menjadi khalifah selanjutnya menggantikan ayahnya yang wafat. Tapi rongrongan
politik Muawiyah berlanjut. Hasan bin Ali kemudian mengambil inisiatif mengadakan
rekonsiliasi politik setelah melihat kemaslahatan umat Islam lebih banyak terwujud
ketika besatu dalam damai. Hasan juga teringat kakeknya Nabi Muhammad saw
pernah bersabda tentangnya:
Hasan berkata: “saya mendengar Abu
Bakrah berkata, Aku pernah melihat Rasulullah di atas mimbar, semetara Hasan
bin Ali di sisi beliau. Kadangkala Rasulullah menatap Hasan dan kadangkala menatap
para hadirin. Lalu beliau berkata:
إِنَّ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ
وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيمَتَيْنِ مِنَ
الْمُسْلِمِينَ
"(Sesungguhnya cucuku ini adalah sayyid. Mudah-mudahan
dengannya Allah akan mendamaikan dua kelompok besar kaum Muslimin yang
bertikai)".
Hasan pun
bersedia meletakkan jabatan khalifah dan menyerahkannya kepada Muawiyah bin Abi
Sufyan dengan beberapa syarat antara lain:
1.
Tidak
boleh lagi mencela ayahnya, Ali bin Abi Thalib[4].
2.
Tidak
boleh mengambil pajak dari daerah Madinah, Hijaz, dan Irak (Kufah dan Bashrah),
karena itu sudah merupakan kebijakan lama dari ayahnya, Ali bin Abi Thalib.
3.
Jabatan
khalifah sesudah Muawiyah harus diputuskan berdasarkan musyawarah di antara
kaum muslimin[5].
Muawiyah pun menyetujui
syarat-syarat tersebut. Meskipun pada kelanjutannya ia mengkhianati janjinya
pada point ketiga di atas. Sebagai bentuk penawarannya, Muawiyah menawarkan
uang pensiun kepada Hasan sebesar 5 juta Dirham dari perbendaharaan Kufah
ditambah dengan uang pajak yang diambil dari daerah Persia dan Dar Ibjirad yang
akan diberikan setiap tahunnya. Sejak itu Hasan mengundurkan diri dari dunia
politik hingga wafat pada tahun 669 M dalam usia 45 tahun. Hasan menjabat
selama kurang lebih 6 bulan[6].
Peristiwa rekonsiliasi
itu terjadi pada tahun 41 H/661 M dan disebut sebagai Tahun Jama’ah (tahun
persatuan) karena semua kaum muslimin sepakat secara politik bersedia dipimpin
oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Semenjak itulah Muawiyah bin Abi Sufyan resmi
sebagai khalifah umat Islam dan amirul mukminin (pemimpin orang-orang beriman).
Di saat yang sama menurut para sejarawan Islam, berdirilah Khlafah Bani
Umayyah/ Dinasti Umayyah I.
Dinasti artinya
keturunan raja-raja, dan bani (dari kata banuu بَنُوْ / بَنِيْ Bahasa arab) artinya anak-anak
keturunan. Jadi disebutlah kemudian Khilafah Bani Umyyah atau Dinasti Umayyah
yang memiliki pemahaman: pemerintahan yang dipegang oleh anak keturunan
Umayyah. Kata Umayyah diambil dari nama Umayyah bin Abdis Syams, kakek buyut
daripada Muawiyah bin Abi Sufyan.
B.
Biografi Muawiyah bin Abu Sufyan
1.
Nasab
dan Kelahiran
Nama beliau
adalah Muawiyah anak daripada Abi Sufyan salah seorang pembesar Quraisy yang
sebelum masuk Islam termasuk barisan para pemuka Quraisy yang memusuhi Nabi
Muhammad SAW. Nasab lengkapnya adalah Muawiyah bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayah
bin Harb bin Abdi Syams bin Abdi Manaf al-Qurasyi al-Amawiy. Ibunya bernama Hindun
bin Utbah bin Rabi’ah bin Abdi Syams bin Abdul Manaf. Beliau berkun-yah
Abu Abdurrahman. Lahir di Mekah 15 tahun sebelum Hijrah (sekitar tahun 606 M).
Beliau masuk Islam beserta ayahnya Abi Sufyan pada peristiwa Fathu Makkah
(pembebasan kota Mekah) tahun 8 H. Saat itu beliau masih berumur 23 tahun[7].
2.
Karir
Politik
Karena
kemampuan menulis dan membaca serta berhitungnya melebihi orang-orang Quraisy pada
umumnya, Muawiyah diangkat Nabi Muhammad menjadi penulis wahyu, disamping juga
sebagai bentuk penghargaan Nabi kepada keluarga Bani Umayyah yang merupakan
keluarga bangsawan di kota Mekah.
Di masa
kekhalifahan Abu Bakar As-Shiddiq, Muawiyah pernah dikirim untuk membantu
saudaranya Yazid bin Abi Sufyan dalam penaklukan daerah Syam. Baru di masa Umar
bin Khattab, Muawiyah diangkat menjadi gubernur di Syam setelah saudaranya
Yazid meninggal dunia. Selama menjadi gubernur, Muawiyah patuh mengirimkan
upeti ke ibukota sebanyak 1000 dinar pertahunnya. Dikarenakan tidak ada
larangan dari pusat, Muawiyah memperkuat sendiri angkatan bersenjata di
wilayahnya Syam guna memperkuat posisi kepemimpinannya sebagai gubernur dan
sebagai pasukan ekspansi memperluas wilayah negara Islam. Beliau menjadi
gubernur di Syam selama kurang lebih 20 tahun lamanya. Beliaulah satu-satunya
gubernur yang paling lama diserahi amanah sebagai gubernur.
3.
Sifat
dan Karakter
Muawiyah
memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat dan ahli dalam lapangan politik. Ditambah tampilan
fisiknya yang bertubuh tinggi putih, tampan dan kharismatik sehingga disukai
Umar yang menyebutnya sebagai “Kaisar Arab yang berkuasa di Syam”. Terkumpul
dalam dirinya sifat sifat penguasa, politikus, dan administrator. Tetapi terkenal
sabar dimana seni berpolitiknya berkembang.
Muawiyah juga
dikenal ambisius dalam hal politik kepemimpinan. Imam Thobari dalam kitabnya Al-Kabir
meriwayatkan dari Abdul Malik bin Umair. Dia berkata: Muawiyah berkata: sejak
Rasulullah Saw. bersabda kepadaku: “Wahai Muawiyah, Jika kamu menjadi raja maka
berbuat baiklah”, Saya selalu menginginkan jabatan khalifah.
Muawiiyah
juga memiliki kemampuan luar biasa untuk menggunakan kekuatan hanya ketika
dipandang perlu dan sebagai gantinya lebih banyak menggunakan jalan damai.
Kelembutannya yang sarat dengan kebijakan ia gunakan agar tentara meletakan
senjata dan membuat kagum musuhnya. Sikapnya yang tidak mudah marah dan
pengendalian diri yang sangat tinggi, membuatnya mampu menguasai keadaan. Hal
ini tergambar dalam perkataan beliau yang direkam oleh sejarah:
“Aku tidak akan menggunakan pedangku
selama cambukku masih cukup. Dan aku tidak akan menggunakan cambukku selama
lidahku masih dapat mengatasinya. “
“Jika ada
rambut yang membentang antara aku dan penentangku. Maka rambut itu tidak akan
putus selamanya. Jika mereka yang mengulurkannya maka aku akan menariknya. Jika
mereka menariknya aku akan mengulurkannya.“
Dalam
menjalankan pemerintahan Muawiyah memang terkenal keras kepala dan otoriter.
Namun gaya kepemimpinan inilah yang menjadikan pemerintahan Islam saat beliau
memimpin berjalan stabil.
4.
Wafat
Beliau wafat
tahun 60 H/ 680 M di bulan Rajab dalam usia 75 tahun. Beliau menjabat khalifah
selama kurang lebih 20 tahun. Wafatnya Muawiyah membuat armada lautnya yang
paling fenomenal mundur dan menghentikan penyerangan ke Konstantionpel untuk
sementara waktu. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa yang menggantikan
kepemimpinan setelah beliau adalah anaknya Yazid bin Muawiyah.
5.
Kata
Orang Tentang Beliau
Sebuah hadis
Nabi Muhammad saw tentang Muawiyah dengan kualitas hadis hasan (namun
menurut Albaniy sampai derajat shahih): dari Abdurrahman bin Abi Umairah
dari Rasulullah saw bersabda kepada Muawiyah: “Ya Allah, jadikanlah dia orang
yang memberi petunjuk dan mendapat petunjuk”.
Imam Bukhari meriwayatkan
sebuah hadis dalam kitab Shohih-nya dari Kholid bin Ma’dan dan Umair bin
Mas’ud telah menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Pasukan pertama
daripada umatku yang berperang di laut telah dipastikan baginya (tempat di
surga)”. Dan fakta sejarah menyebutkan bahwa isyarat ini ditujukan kepada
armada laut Muawiyah di zaman Umar bin Khattab.
Dalam sebuah
riwayat hadis mauquf: Di zaman Umar, seseorang mendatangi Ibnu
Abbas dan menceritakan bahwa Muawiyah hanya solat witir satu rakaat saja. Ibnu Abbas
pun menjawab: “(Biarkan) seungguhnya dia seorang yang faqih (paham agama)”[8].
Sahabat Sa’ad bin
Abi Waqosh ra. berkata dan termaktub dalam buku Al-Bidayah wa An-Nihayah
jilid 8 disebutkan: “Tak pernah saya lihat lagi orang yang lebih pandai dalam
memutuskan hukum selepas Sayyidina Utsman, daripada tuan pintu ini” (maksudnya Muawiyah
bin Abi Sufyan).
Sahabat Qobishah
bin Jabir ra berkata: “Tak pernah saya lihat orang yang lebih penyantun, lebih
layak memerintah, lebih hebat, lebih lembut hati, dan lebih luas tangan di
dalam melakukan kebaikan daripada Muawiyah”.
Abdullah bin
Mubarak. Seorang tabi’in ditanya: Yang mana lebih utama, Muawiyah atau Umar bin
Abdul Aziz. Abdullah bin Mubarak marah dan mengatakan: “Demi Allah. Debu yang
masuk ke dalam hidung Muawiyah karena berjihad di jalan Allah bersama Rasulullah
itu saja lebih baik daripada Umar bin Abdul Aziz".
Ibnu Umar ra. ketika
berkata: “Saya tidak melihat setelah Rasulullah yang lebih pandai memimpin
manusia daripada Muawiyah”, ia pun ditanya: Sekalipun ayahmu? Ibnu Umar
menjawab: “Ayahku memang lebih baik dari Muawiyah, tapi Muawiyah lebih pandai
berpolitik darinya”.
Ibnu Abbas ra. berkata:
“Saya tidak melihat seorang yang lebih arif tentang kenegaraan daripada Muawiyah”.
Zuhri berkata: “Muawiyah
bekerja dalam pemerintahan Umar bertahun-tahun tanpa cela sedikitpun darinya”.
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi
berkata: Muawiyah adalah pamannya orang beriman, beliau juga adalah seorang penulis
wahyu Allah.
Ad-Zahabi : Amirul
Mukminin, Raja Islam, Muawiyah adalah raja pilihan yang keadilannya mengalahkan
kezaliman. Lebih lanjut Ad-Zahabi mengomentari Ka’ab Al-Ahbar yang berkata:
tidak ada orang yang berkuasa sebagaimana berkuasanya Muawiyah. Katanya: Ka’ab meninggal
sebelum Muawiyah menjadi khalifah. Maka benarlah apa yang dikatakannya. Sebab Muawiyah
menjadi khalifah selama dua puluh tahun. Tidak ada pemberontakan dan tidak ada
yang menandinginya dalam kekuasannya. Tidak seperti para khalifah yang datang
setelahnya. Mereka banyak ditentang. Bahkan ada sebagian wilayah yang
menyatakan melepaskan diri.
C.
Corak Pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan
Selepas
penyerahan kekuasaan negara Islam oleh Hasan bin Ali kepada Muawiyah yang
terjadi di Kufah pada tahun 661 M, maka resmilah Muawiyah menjadi amirul
mukminin/ khalifah berikutnya. Tidak ada perbedaan pendapat ulama dalam hal
ini. Kecuali setelah Muawiyah mendeklarasikan anaknya Yazid bin Muawiyah (pada
tahun 50 H) sebagai putera mahkota yang akan mewarisi jabatan khalifah tersebut
sepeninggalnya. Mulailah para ulama dan sejarawan menyematkan kata yang lebih
tepat untuk beliau sandang, yaitu raja dan pemerintahan yang dipegangnya adalah
sebuah kerajaan. Sistem suksesi putera mahkota ala kerajaan ini diadopsi oleh
Muawiyah meniru kepada sistem kerajaan Bizantium dan Persia atas usulan dari
salah satu gubernurnya di Kufah, Mughirah bin Syu’bah, demi menghindari
perpecahan politik sepeninggalnya kelak yang lebih besar.
Syaikh Ibnu Taimiyah
dalam kitab Majmu’ Fatawa-nya berkata: para ulama sepakat bahwa Muawiyah
adalah raja terbaik dalam umat. Karena empat pemimpin sebelumnya adalah para khalifah
nubuwah. Adapun dia (Muawiyah bin Abi Sufyan) adalah awal raja dan
kepemimpinannya adalah rahmat. Dan ternyata gelar raja itu pun diamini oleh
Muawiyah sendiri. Ketika beliau mendengar sabda Nabi Muhammad yang berbunyi:
الْخِلاَفَةُ
فِي أُمّتِي ثَلاَثُونَ سَنَةً، ثُمّ مُلْكٌ بَعْدَ ذَلِك
“Pemerintahan Khilafah pada umatku
hanyalah 30 tahun, kemudian setelah itu pemerintahan Kerajaan”. (HR. Imam
Ahmad)
Muawiyah menjawabnya dengan
kata-kata: “Saya rela dengan kerajaan”.
Karena sadar
bahwa sistem pemerintahannya kelak itu akan berbeda sekali dengan sistem
pemerintahan yang diterapkan oleh para Khulafa Rasyidin, maka Muawiyah
mengartikan kata khalifah yang semula adalah kependekan dari Khalifatur
Rasulillah (pengganti nabi dalam memimpin umat[9])
menjadi khalifatullah (pemimpin yang diangkat oleh Allah). Hal ini sudah
digambarkan jauh-jauh hari oleh sebuah hadis Nabi Muhammad SAW riwayat Ahmad
dari Nu’man bin Basyir:
تَكُوْنُ
النُّبُوَّةُ فِيْكُمْ مَا شَاءَ اللهُ اَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا اللهُ
اِذَا شَاءَ اَنْ يَرْفَعَهَا. ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجٍ
النُّبُوَّة فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ اَنْ تَكُوْنَ. ثُمَّ يَرْفَعُهَا اللهُ
اِذَا شَاءَ اَنْ يَرْفَعَهَا. ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا عَاضًّا فَتَكُوْنُ مَا
شَاءَ اللهُ اَنْ تَكُوْنَ. ثُمَّ يَرْفَعَهَا اللهُ اِذَا شَاءَ اَنْ
يَرْفَعَهَا. ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ اَنْ
تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعَهَا اللهُ اِذَا شَاءَ اَنْ يَرْفَعَهَا. ثُمَّ تَكُوْنُ
خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُبُوَّةِ . ثُمَّ سَكَتَ
“Di tengah kalian terdapat era
kenabian sesuai dengan kehendak Allah lalu Allah akan melenyapkannya jika dia
menghendakinya. kemudian akan ada era khilafah yang sesuai dengan manhaji
kenabian, maka ia ada sesuai dengan kehendak Allah dan akan dicabutnya bila dia
menghendakinya. Kemudian akan ada era penguasa yang menggigit, ia ada sesuai
dengan kehendak Allah dan akan lenyap bila Allah menghendakinya. Kemudian akan
ada era penguasa yang memaksa/ tiran, ia ada sesuai dengan kehendak Allah dan
akan lenyap bila Allah menghendakinya. Kemudian akan ada era khilafah sesuai
dengan manhaj kenabian. Nabi pun kemudian diam....”.
Dalam hadits
ini Rasulullah menyatakan urutan perjalanan umat Islam diawali oleh Nubuwah
(masa kenabian), diikuti oleh khilafah yang berpedoman kepada jalan kenabian,
kemudian dilanjutkan oleh kekuasaan yang menggigit (maksudnya monarki), kemudian kekuasaan yang memaksa (otoriter
militer), kemudian terakhir sistem khilafah yang kembali berpedoman jalan
kenabian. Bila era kenabian ditandai dengan wafatnya nabi Muhammad, era
khilafah berakhir seumur 30 tahun (di tangan Hasan bin Ali), maka era
setelahnya yaitu era kepemimpinan Muawiyah dan selanjutnya adalah era kekuasaan
yang “menggigit” karena mempertahankan kekuasaan hanya untuk disekitar keluarga
istana (monarki). Isyarat ini diberikan kepada dinasti Umayyah, dinasti
Abbasiyah, dinasti Utsmaniyah dan sebagainya.
Salah satu
perbedaan mendasar antara khilafah rasyidah dan khilafah selanjutnya (Dinasti
Umayyah) adalah kehidupan khalifah/ amirul mukminin yang awalnya
sederhana sekali tak berbeda dengan rakyat kebanyakan[10],
menjadi layaknya raja yang hidup di sebuah benteng dan istana besar, yang
dikawal serta dilindungi oleh banyak prajurit. Muawiyah mengambil pelajaran
dari terbunuhnya tiga khalifah sebelumnya, dimana pemimpin sebuah umat dan
negara haruslah dilindungi dengan perlindungan yang maksimal karena merupakan
orang yang paling penting kedudukannya. Beliau juga memindahkan pusat ibukota
negara Islam yang awalnya di Madinah menjadi Damaskus di Syam. Ini pun tak
lepas dari pertimbangan keamanan beliau sebagai seorang pemimpin negara dan
lamanya beliau berkuasa di sana[11].
D.
Kemajuan Peradaban Islam di Masa Muawiyah
Sebagaimana disebutkan sebelumnya Muawiyah dikenal sebagai sahabat
yang paling pandai dalam bidang politik dan administrasi pemerintahan.
Pengalamannya sebagai gubernur Syam selama 20 tahun lamanya tanpa cela
menunjukkan kemampuannya yang tak tertandingi. Bahkan Abdullah bin Umar
mengatakan Muawiyah mengungguli ayahnya Umar bin Khattab dalam hal memimpin
pemerintahan. Tak aneh bila kemudian ijtihad politik Muawiyah kemudian
mengatakan dia lebih berhak menjabat khalifah ketimbang sahabat Ali bin Abi
Thalib.
Berikut kemajuan dan prestasi yang dicapai oleh negara Islam ketika
berada dipimpin oleh Muawiyah:
1.
Militer
dan Ekspansi Wilayah
Muawiyah adalah gubernur yang paling aktif memperkuat sendiri
angkatan bersenjatanya guna memperluas futuhat/ ekspansi wilayah karena
memang diperbolehkan oleh khalifah saat itu. Setelah menjabat khalifah,
Muawiyah membentuk tiga angkatan bersenjata: angkatan darat, angkatan laut, dan
kepolisian. Armada laut miliknya yang paling fenomenal memiliki 1700 kapal laut
tangguh. Dengannya Muawiyah melanjutkan ekspansi wilayah negara Islam yang
dilakukannya semenjak menjadi gubernur Syam dan sempat terhenti ketika terjadi
fitnah terbunuhnya Khalifah Utsman di Madinah. Armada lautnya adalah pasukan
pertama yang berhasil melakukan ekspansi wilayah menyeberangi lautan hingga ke
benteng Bizantium dan Konstantinopel di
Eropa.
Muawiyah juga membentuk pasukan untuk musim panas dan musim dingin.
Memberlakukan wajib militer kepada warga negara yang itu tidak terjadi di zaman
khilfah rasyidah dimana para mujahidin berjihad adalah dengan sukarela karena
dorongan agama. Wilayah yang dapat dikuasainya mencapai Tunisia di arah barat,
Afghanistan dan Khurasan di arah timur.
2.
Tata
Kelola Administrasi Pemerintahan
Melanjutkan modernisasi administrasi dan struktur pemerintahan oleh
Khalifah Umar bin Khattab dimana negara Islam memiliki banyak provinsi yang
dipimpin oleh seorang amir atau wali (gubernur), Muawiyah
melengkapinya dengan diadakannya katib (sekretaris) dan hajib
(pengawal) bagi masing-masing gubernur, ditambah dengan shohibul kharraj
(pejabat pendapatan daerah), shohibus syurthoh (pejabat kepolisian
daerah) dan qadhi (kepala agama sekaligus hakim).
Adapun di tingkat pusat, terdapat beberapa diwan (seperti
departemen/ kementerian) antara lain:
1.
Diwan
Rasail (Departemen Sekretaris Negara) yang dipimpin oleh seorang Katib Rasail
(Mensesneg). Tugas diwan ini adalah mengurus surat-surat negara.
2.
Diwan
Khatim yang bertugas menyalin dan meregistrasi semua keputusan atau aturan dari
khalifah untuk dikirim kepada pemerintahan di tingkat daerah.
3.
Diwan
Kharraj (Departemen Keuangan) yang dipimpin seorang Shohibul Kharraj yang
bertugas mengumpulkan dan mengelola keuangan negara yang didapat dari zakat,
infak, wakaf, ghanimah, fai, usyur, dan kharraj/
pajak non muslim. Semua pendapatan negara dimasukkan dalam baitul maal
(kas negara).
4.
Diwan
Bariid (Departemen Pos dan Komunikasi) yang bertugas mengirimkan surat serta
melayani informasi dari pusat ke daerah dan sebaliknya. Kebijakan Muawiyah
dalam departemen ini adalah menyiapkan kuda-kuda ekspedisi terbaik di setiap
posnya hampir di seluruh wilayah negara Islam. Pos ini juga melayani eskpedisi
surat-menyurat untuk luar negeri. Tercatat sebuah surat datang dari kepulauan Nusantara
tepatnya dari seorang raja Sriwijaya bernama Srindravarman dan ditujukan kepada
Khalifah Muawiyah di Damaskus ibukota Syam. Bahkan di era khalifah Umar bin
Abdul Aziz, seorang ratu dari Jawa bernama Ratu Shima (istananya di Kalingga
dekat Jepara) masuk Islam setelah berkorespondensi dengan khalifah[12].
5.
Diwan
Jundi (Departemen Pertahanan) yang dipimpin oleh Katib Jundi yang bertugas
mengorganisasi militer negara untuk keperluan pertahanan dan ekspansi negara. Kebijakan
Muawiyah di sini adalah hanya mengutamakan orang-orang yang bersuku bangsa Arab
saja.
6. Diwan
Qadhi (Departemen Kehakiman) yang dipimpin oleh seorang Qodhi yang bertugas
menangani perkara pengadilan.
7. Diwan
Syurthoh (Kepolisian) yang dipimpin oleh seorang Shohibus Syurthoh yang
bertugas yang bertugas memelihara keamanan masyarakat.
8.
Diwan
Hijabah (seperti Paspampres) yang dipimpin oleh seorang Hajib bertugas menjaga
serta mengatur siapa saja yang boleh bertemu khalifah. Hajib ini tidak dikenal
ketika masa khulafa rasyidin, dimana siapa saja boleh langsung bertemu khalifah
mengadukan masalahnya, tapi tentunya cukup beresiko.
BAB III
KESIMPULAN
1. Dinasti
Umayyah berdiri pada tahun 661 M/ 41 H seiring dengan diserahkannya
kepemimpinan umat Islam dari Hasan bin Ali ra. kepada Muawiyah bin Abi Sufyan ra.
2. Berdirinya
Dinasti Umayyah tak bisa dilepaskan dari beberapa peristiwa penting yang
melatarbelakanginya. Seperti kudeta pertama, pembunuhan Utsman, Perang Jamal,
Perang Shiffin dan arbitrase pertama dalam sejarah Islam.
3. Muawiyah
bin Abi Sufyan adalah tokoh yang paling berpengaruh di dalam kepemimpinan Bani
Umayyah. Di samping sebagai pendirinya yang cukup kontroversial, juga sebagai
khalifah yang banyak membuat kemajuan dan perubahan luar biasa dalam sistem
pemerintahan dan administrasi negara Islam.
4. Secara
kepribadian Muawiyah adalah sosok yang sabar, penyantun, lembut hati, faqih
agama, pandai administrasi, juga ambisius (penuh kesungguhan) dalam mencapai
tujuannya.
5. Perang
Shiffin dan persitiwa Arbitrase terjadi bukan karena Muawiyah gila kekuasaan
ingin mengincar kursi khalifah, tapi lebih karena hasil ijtihad beliau saat itu
yang menilai beliau lebih baik menggantikan Khalifah Ali agar bisa
menyelesaikan kasus investigasi pembunuhan Utsman. Meski kebanyakan pendapat
mengatakan ijtihad beliau ini kurang tepat, namun dilihat dari segi sudut
pandang apa itu ijtihad dan kedudukan mulia beliau sebagai seorang sahabat Nabi,
maka sudah sebaiknya kita menjauhkan diri dari mengomentari beliau (juga para
sahabat yang lainnya) dengan perkataan yang tidak sepantasnya.
Demikian
komentar para ulama (terutama ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah) tentang perang
saudara yang terjadi di antara para sahabat. Sebagaimana perkataan seorang
ulama sebagai berikut:
“….. Demikianlah
madzhab Ahlu Sunnah wal Jama'ah, yaitu Ali Radhiyallahu 'anhu berada di pihak
yang benar. Adapun Mu'awiyah yang memerangi Ali telah salah dalam ijtihadnya,
dan ia mendapat satu pahala atas kesalahan ijtihadnya tersebut, insya Allah.
Sebagaimana disebutkan dalam Shahih al Bukhari, dari hadits Amr bin al Ash
Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا َاجْتَهَدَ الْحَاكِمُ
فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا اجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
"Jika
seorang hakim berijtihad lalu benar, maka ia berhak mendapat dua pahala, namun
jika ia berijtihad lalu salah, maka ia mendapat satu pahala".
6.
Corak
pemerintahan Negara Islam di tangan Bani Umayyah adalah kerajaan karena
menerapkan sistem suksesi putera mahkota. Namun di dalam penerapan hukum dan
kepemimpinan Islam masih menggunakan sistem khilafah Islam dimana kepemimpinan
umum umat Islam di seluruh dunia di tangan satu orang (amirul mukminin/ imamul
a’zhom), proses pengangkatannya melalui proses baiat yang sah secara
syara’, dan sumber hukum negara tetap adalah syariat Islam yang bersumber
Alquran dan Assunnah (meskipun dalam perjalanannya banyak penyimpangan syariat
oleh penguasa). Karena itu tidaklah salah menyebut kekhalifahan Bani Umayyah
dan dinasti-dinasti besar selanjutnya sebagai khilafah Islam. Penyimpangan
syariat yang dilakukan oleh dinasti-dinasti ini terutama di bidang suksesi
kepemimpinan hanya “mencabut” kata-kata sifat Rasyidah (mendapat
petunjuk/ adil dan bijaksana) dari kekhilafahan mereka. Abu A’la Al-Maududi mengatakan:
Khilafah tapi tidak termasuk dalam jenis khilafah rasyidah[13].
7.
Muawiyah
melakukan banyak moderniasi dalam bidang militer dan administrasi struktur
pemerintahan negara. Sejarawan mengatakan Muawiyah adalah orang pertama yang membangun
kantor catatan negara dan pelayanan pos di dunia.
REFERENSI
Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak
Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, 2009
As-Sulami, Muhammad
bin Shamil, Tartib wa Tahdzib al-Bidayah wa an-Nihayah, diterjemahkan
oleh Abu Ihsan al-Itsari, Darul Haq, Jakarta, 2004
Syalabi, Ahmad,
Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, Pustaka al-Husna, Jakarta, 1982
Faizi, Herfi
Ghulam, Umar bin Abdul Aziz; 29 Bulan Mengubah Dunia, Cahaya Siroh,
Jakarta, 2012
Marzuki Haji
Mahmood, Isu-isu Kontroversi Dalam Sejarah Pemerintahan Khulafa al-Rasyidin,
berbahasa Melayu, tanpa tahun.
Mawardi, Imam, Hukum
Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam, diterjemahkan oleh Abdul
Hayyie al-Kattani dan Kamaludin Nurdin, Cetakan I, Gema Insani Press, Jakarta,
2000
Maududi, Abu
A’la, Khilafah dan Kerajaan, diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir, Cet.
I, Penerbit Karisma, Bandung, 2007
www.voa-khilafah.tk
www.referensimakalah.com/2012/08/biografi-muawiyah-bin-abu-sufyan.html
viosixwey.blogspot.com/2013/04/biografiriwayat-hidupsejarah-muawiyah.html
abusalafy.wordpress.com/2012/10/25/muawiyah-dalam-pandangan-para-tokoh
ulama-ahlusunnah-i-2/
[1]
Herfi Ghulam
Faizi, Umar bin Abdul Aziz; 29 Bulan Mengubah Dunia, (Jakarta: Cahaya
Siroh, 2012), h. 14
[2]
Herfi Ghulam
Faizi, Umar … h. 14
[3]
Samsul Nizar, Sejarah
Pendidikan Islam: Menelesuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Samapai
Indonesia, Cet. 3 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 55
[4]
Muhammad
bin Shamil as-Sulami, Tartib wa Tahdzib al-Bidayah wa an-Nihayah, diterjemahkan oleh: Abu Ihsan al-Itsari, Cet.
1 (Jakarta: Darul Haq, 2004), h. 24
[5]Ahmad Syalabi, Sejarah
dan Kebudayaan Islam 2,(Jakarta: Pustaka al-Husna, 1982), h. 35
[6] Herfi Ghulam
Faizi, Sejarah … , h. 15
[7]
Samsul Nizar, Sejarah
… h. 56
[8]
Hadits riwayat
Bukhari dengan nomor hadits: 3765
[9]
Imam Mawardi, Hukum
Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam, diterjemahkan oleh Abdul
Hayyie al-Kattani dan Kamaludin Nurdin, (Jakarta: Geman Insani Pres, 2000), h.
36
[10]
Diceritakan
bahwa pernah ada seorang utusan dari penguasa Romawi Timur di Syam yang diutus
mengirimkan surat ke Madinah. Utusan itu pun terkejut dan kagum bertemu
Khalifah Umar bin Khattab r.a sang pemimpin negara Islam, tengah beristirahat
di kebun kurma tanpa pengawalan ketat dan kehidupan yang mewah.
[11]
Samsul Nizar, Sejarah
…, h. 57
[12]
Korespondensi
Khalifah Bani Umayyah dengan Raja dan Ratu di Nusantara, Voice of Khilafah,
www.voa-khilafah.tk, 7 September 2014
[13]
Abu A’la
Maududi, Khilafah dan Kerajaan, diterjemahkan oleh Muhamamd al-Baqir,
Cetakan I Edisi Revisi (Bandung, Penerbit Karisma, 2007) h. 185
No comments:
Post a Comment